Oleh : Sabby Kosay
LE selaku gubernur Papua harus berbesar hati dalam menjalani proses hukum terkait dengan adanya panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika memang tidak terbukti, LE harus bisa menunjukkan bukti bahwa dirinya tidak bersalah di hadapan KPK.
Charles Kossay selaku Aktivis Papua mengajak kepada seluruh masyarakat termasuk LE untuk menjelaskan ke KPK demi membuktikan apakah terjadi praktik korupsi atau tidak.
Charles mengaku pihaknya mengetahui bahwa Gubernur LE telah menjadi tersangka, saat ini Lukas tidak bisa menemui KPK karena masih dihadang oleh simpatisannya.
Ia juga berharap agar proses penegakkan hukum dapat berjalan dengan baik tanpa mengorbankan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Sebelumnya, tokoh pemuda Papua Martinus Kasuay juga mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Gubernur LE.
Martinus menuturkan, sudah sewajarnya siapapun yang bersalah harus diberikan sanksi hukuman pidana, sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
Sekretaris Barisan Merah Putih tersebut juga menyatakan bahwa kasus korupsi yang menjerat Gubernur Papua LE merupakan kasus pribadi yang tidak ada kaitannya dengan politisasi atau kriminalisasi. Kasusnya adalah murni karena terkait dengan hukum.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya berharap agar LE kooperatif untuk memenuhi panggilan kedua nanti. Sementara, Enembe mengaku masih menjalani perawatan dan tidak bisa beraktivitas seperti orang sehat pada umumnya.
Desakan penangkapan terhadap LE juga dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai bahwa proses hukum terhadap LE yang dilakukan oleh KPK terlalu berlarut-larut. ICW juga meminta kepada KPK untuk bertindak cepat.
Di sisi lain, ICW juga menyarankan kepada KPK untuk berkoordinasi dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk memeriksa kesehatan Gubernur Papua tersebut. Hal tersebut dirasa penting agar dapat mengetahui apakah LE benar-benar harus mendapatkan perawatan atau tidak.
Desakan juga datang dari MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) yang meminta kepada KPK untuk menjemput paksa Gubernur Papua LE karena dua kali tidak menghadiri panggilan pemeriksaan dengan alasan sakit. MAKI menilai bahwa KPK harus berani menjemput LE.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan, penegakan hukum harus berlaku sama kepada setiap orang. Boyamin menyinggung KPK yang pernah melakukan upaya penjemputan paksa kepada mantan Ketua DPR SN dalam kasus korupsi e-KTP.
Sementara itu, Zaenur Rohman selaku Peneliti Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) meminta KPK untuk tegas dalam menangani perkara terkait dengan LE, Zaenur meminta agar KPK menjemput paksa Enembe apabila tidak memenuhi panggilan yang telah ditujukan.
Selain itu, Zaenur juga menyarankan agar KPK dapat menggunakan pendekatan sosial dengan menggandeng tokoh setempat. KPK harus memberi paham kepada para pembela LE bahwa ini merupakan murni proses hukum.
Pada kesempatan berbeda, Absalom Yarisetouw selaku Ketua Generasi Garuda Sakti Indonesia Provinsi Papua meminta kepada aparat penegak hukum untuk tegas terhadap LE yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Dirinya menuturkan, Jika LE tidak bersikap kooperatif, Lukas harus dijemput paksa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Absalom mengatakan bahwa KPK harus jemput paksa dengan didampingi TNI dan Polri. LE sudah dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan KPK.
Indonesia sebagai negara hukum tentu saja tidak boleh memberikan ruang terhadap pelanggar hukum.
Dirinya juga meminta kepada masyarakat di Papua agar objektif dalam melihat persoalan LE sebagai murni kasus hukum, bukanlah politisasi apalagi kriminalisasi.
Bahkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga mendorong LE selaku kadernya untuk mentaati proses hukum sebagai tersangka dugaan kasus korupsi.
AHY juga berjanji, Partai Demokrat tidak akan melakukan intervensi apapun dan mendukung proses hukum terhadap LE yang sedang berjalan di KPK.
Sementara itu, AHY juga memutuskan untuk menonaktifkan sementara Gubernur LE sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Papua.
Keputusan tersebut dilakukan Demokrat agar LE dapat berkonsentrasi penuh dalam menghadapi proses hukumnya di KPK sebagai tersangka.
Pencegahan penangkapan dari para simpatisan Gubernur LE merupakan hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Pasal 21 menyebutkan bahwa, setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Tidak ada pilihan lain bagi LE untuk bersikap kooperatif terhadap KPK, karena bagaimanapun juga, LE harus memberikan penjelasan serta pertanggungjawabannya kepada KPK.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta