Oleh : Saby Kosay
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengirimkan surat panggilan terhadap Gubernur Papua LE, namun LE belum mengindahkan surat panggilan tersebut. Masyarakat pun semakin mendesak agar Lukas Enembe mundur dari jabatannya dan segera memenuhi panggilan KPK.
Sikap yang tidak kooperatif tersebut rupanya memancing sejumlah aktivis antikorupsi melakukan desakan kepada KPK untuk menjemput paksa LE.
Diketahui, LE merupakan tersangka dugaan suap dan gratifikasi APBD Provinsi Papua. Pemanggulan pertama dari KPK, dimentahkan olehnya. KPK lantas bergegas melakukan pemanggilan yang kedua.
Ali Fikri selaku Kabag Pemberitaan KPK mengatakan bahwa pihaknya berharap agar LE kooperatif untuk memenuhi panggilan kedua nanti. Sementara, Enembe mengaku bahwa dirinya masih menjalani perawatan dan tidak dapat beraktivitas seperti biasanya.
Dalam sebuah video, LE mengaku bahwa kakinya mengalami pembengkakan sehingga sulit berjalan. Dia mengatakan kakinya terasa sakit sekali dan masih membengkak.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa proses hukum terhadap Gubernur Papua LE yang dilakukan KPK terlalu berlarut-larut. ICW meminta kepada KPK untuk bertindak cepat.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, beranggapan proses hukum terhadap LE ini sudah terlalu berlarut-larut. Untuk itu, guna mempercepat penyidikannya. ICW mendorong agar KPK segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa terhadap Gubernur Papua tersebut. Bahkan, jika dbutuhkan, bukan hanya penjemputan paksa, melainkan penangkapan lalu dilanjutkan penahanan.
ICW menyarankan KPK berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memeriksa kesehatan LE. Hal tersebut penting dilakukan untuk memastikan apakah LE memang benar-benar harus mendapatkan perawatan atau tidak.
Jika benar kondisi LE memang sedang sakit, KPK dapat melakukan pembantaran terhadap yang bersangkutan. Namun, apabila kondisinya sehat dan terbukti tidak sakit, KPK harus menjerat pihak-pihak yang memanipulasi kondisi kesehatan LE dengan pasal 21 UU Tipikor terkait dengan obstruction of justice.
Desakan juga datang dari MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) yang meminta kepada KPK untuk menjemput paksa Gubernur Papua LE karena dua kali tidak menghadiri panggilan pemeriksaan dengan alasan sakit. MAKI menilai bahwa KPK harus berani menjemput LE Koordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan, penegakan hukum harus berlaku sama kepada setiap orang. Boyamin menyinggung KPK yang pernah melakukan upaya penjemputan paksa kepada mantan Ketua DPR SN dalam kasus korupsi e-KTP.
Saat itu, SN mengaku terluka hingga bengkak di bagian tubuhnya setelah dirinya mengalami kecelakaan tunggal, walau demikian dirinya tetap dijemput paksa oleh KPK dan setelah itu, SN didapati telah mengenakan rompi orange.
Sementara itu, Zaenur Rohman selaku Peneliti Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) meminta KPK untuk tegas dalam menangani perkara terkait dengan LE, Zaenur meminta agar KPK menjemput paksa Enembe apabila tidak memenuhi panggilan yang telah ditujukan.
Selain itu, Zaenur juga menyarankan agar KPK dapat menggunakan pendekatan sosial dengan menggandeng tokoh setempat. KPK harus memberi paham kepada para pembela LE bahwa ini merupakan murni proses hukum.
Pada kesempatan berbeda, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa dirinya siap membantu KPK apabila diperlukan guna menuntaskan kasus yang mencatut LE. Sigit menegaskan bahwa Polri siap mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi. Polri juga telah menyiapkan 1.800 personel kepolisian di Papua.
Sementara itu sebagai orang asli Papua, Kepala Suku Wali Papua, Melianus Wali, berharap agar LE dapat menghormati hukum yang berlaku. Melianus menyebutkan bahwa LE sebagai seorang pejabat pemerintah, harusnya mengetahui aturan hukum dan secara kooperatif memberikan keterangan kepada pihak KPK.
Melianus juga mengatakan bahwa LE harus menghadapi proses hukum dengan berani dan berjiwa besar. Masyarakat lebih baik pulang ke rumah masing-masing dan hidup tenang bersama keluarga daripada bertahan melindungi LE di kediamannya. Tercatat LE telah dua kali mangkir dari panggilan kedua oleh KPK dan akan ada panggilan ketiga.
Tentus saja LE selaku pejabat daerah, semestinya bisa mengetahui aturan hukum dan secara kooperatif memberikan keterangan kepada pihak KPK.
Desakan dari berbagai ormas agar KPK mengadili LE rupaya belum juga berhenti, tentu saja LE harus rela melepas jabatannya atas apa yang telah dirinya lakukan dan mengganti jabatan itu dengan rompi orange yang diproduksi oleh KPK.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta