Oleh : Zelina Ibrahim
Pemekaran Provinsi Papua merupakan sebuah upaya untuk melakukan percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Papua Mesakh Mirin mengungkapkan dengan disahkanya Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua, yakni RUU Papua Tengah, RUU Papua Selatan, dan RUU Papua Pegunungan bisa menjawab harapan masyarakat Papua atas kesejahteraan yang semestinya didapat.
Dengan adanya DOB di Papua akan memberi harapan pembangunan yang merata di Papua. Kebijakan pemekaran Papua merupakan amanat dan implementasi atas Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, tepatnya Pasal 76. Dengan demikian, fondasi utama tiga RUU pemekaran tersebut harus menjamin dan memberikan ruang kepada OAP. Regulasi yang dibuat diharapkan dapat menjadi payung hukum yang konkret, terutama dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan pada tahap awal dan masa-masa selanjutnya pada tiga provinsi tersebut.
Staf Khusus Presiden, Billy Mambrasar, mengungkapkan, pemerintah terus fokus mewujudkan pembangunan di wilayah Papua. Pembangunan tersebut diwujudkan melalui kebijakan UU Otsus, DOB, dan pemangkasan regulasi atau birokrasi.
Dalam amanat Otsus terdapat kebijakan pemekaran (DOB). Adanya kebijakan pembentukan daerah baru tersebut untuk menjawab rentang kendali antara pemerintah dengan masyarakat. Mengingat Papua memiliki wilayah yang sangat luas dan permasalahan yang kompleks.
Pada kesempatan lain, Tokoh Pemuda Papua Charles Kosay dalam menyampaikan bahwa dalam Strategi Percepatan Pembangunan Papua, Pemerintah telah melakukan evaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus dengan dikeluarkanya UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dengan adanya perubahan UU Otsus ini menjadikan pendidikan, kesehatan, tata kelola pemerintahan serta pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur menjadi lebih baik.
Sementara itu, Akademisi Universitas Cendrawasih Marinus Yaung dalam kesempatannya menyampaikan bahwa berbicara masalah percepatan pembanguan di Papua terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah “modal” dan yang kedua adalah SDM atau kesiapan manusianya.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan semua K/L (kementerian/lembaga) harus mendiseminasikan dan mengamplifikasikan pembangunan Papua serta membentuk forum-forum dialog yang membahas permasalahan Papua dan solusinya. dibutuhkan koordinasi dan kolaborasi untuk menghadapi banyaknya narasi negatif terkait terbentuknya DOB di Papua. Akun-akun media sosial yang mendukung separatisme Papua sering membuat narasi dari berbagai macam angle dan framing. Isu yang diangkat, antara lain, tentang pelanggaran HAM, marjinalisasi, kekerasan, dan lingkungan hidup.
Dalam rangka mempercepat pembangunan di Papua negara telah menerbitkan pasal terkait pemekaran Papua. Hal tersebut untuk menjawab masalah pemerataan sosial. Karena pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan sosial dapat menjadi akar masalah dan konflik.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengungkapkan perlu dibuktikan untuk melihat pemekaran sebagai jalan menuju kesejahteraan di Papua. Sebab, pemekaran yang sudah dilaksanakan di Papua sebelumnya belum menjamin pelayanan publik di daerah otonom baru. Persoalan yang terjadi di daerah otonom baru di antaranya kapasitas fiskal yang masih rendah dan kinerja layanan terhadap masyarakat yang tidak memuaskan, terutama di daerah DOB. Untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan dan pelayanan publik di seluruh wilayah Papua atau di daerah otsus, perlu dibenahi kerangka hubungan pemerintah pusat dengan daerah.
Terkait dengan pembinaan dan pengawasan, implementasi atau daya serap dari dana otsus Papua mesti dilakukan evaluasi yang sistematis dan kolaboratif dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat mesti menetapkan target kinerja, output, bahkan sampai pengaruh ke pemerintah daerah terkait anggaran yang digelontorkan untuk dana otsus yang diberikan setiap tahun.
Berbagai upaya dan terobosan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua sudah dilakukan Presiden Joko Widodo. Mulai dari mencanangkan kebijakan bahan bakar minyak satu harga tahun 2016, yang kini sudah berjalan, hingga melakukan upaya diplomasi dengan berulang kali mengunjungi Papua.
Pada akhir tahun 2020, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Tujuan pokok diterbitkannya Inpres tersebut untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan di Tanah Papua, yang mencakup tujuh bidang prioritas, yaitu kemiskinan, pendidikan, kesehatan, UMK, ketenagakerjaan, pencapaian SDGs, dan infrastruktur.
Upaya percepatan pembangunan Papua itu kemudian ditekankan kembali melalui penyusunan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang menjadi pedoman penting pembangunan nasional, serta turut menyiapkan struktur birokrasi termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) asli Papua.
Pemerintah menghendaki sedikitnya 80 persen ASN di Papua merupakan orang asli Papua, agar peningkatan kesejahteraan masyarakat betul-betul terwujud. Keinginan kuat Pemerintah, yang meliputi pembangunan SDA, pembangunan infrastruktur, dan dukungan kebijakan pembangunan yang adil bagi kepentingan masyarakat Papua, menjadi modal utama pembangunan kesejahteraan Tanah Papua.
Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia