Oleh : Alif Fikri
Radikalisme dicegah agar tidak menyebar ke seluruh Indonesia, karena kelompok radikal bekerja secara gerilya dan juga di dunia maya. Internet dipilih karena netizen Indonesia sering menggunakannya, termasuk generasi muda (gen Z). Mereka jadi incaran untuk dijadikan sebagai kader radikal baru, karena masih labil dan bisa dipengaruhi pikirannya.
Indonesia adalah negara yang masuk dalam 5 besar pengguna internet dan media sosial di seluruh dunia, dan paling banyak adalah kaum milenial. Tidak ada hari tanpa buka Instagram atau aplikasi media sosial lainnya. Namun mereka wajib mewaspadai bahaya di baliknya, karena ada kelompok radikal yang siap mengintai.
Kelompok radikal sengaja masuk ke media sosial karena menyasar anak-anak muda alias milenial yang kecanduan internet. Kaderisasi dilakukan dan mereka mencari kader yang masih muda dan mengerti dunia internet, yakni gen Z. Sangat berbahaya jika milenial dan gen Z dipengaruhi oleh kelompok radikal, karena kemampuan mereka disalahgunakan untuk menyebarkan radikalisme.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid, menyatakan bahwa ada 12,2% masyarakat Indonesia yang berpotensi terkena radikalisme, dan kebanyakan adalah milenial dan gen Z. Mereka berpotensi terkena radikalisme karena menunjukkan sikap intoleran, anti pemerintah, dan anti Pancasila.
Kondisi ini tentu sangat berbahaya karena bagaimana bisa anak-anak muda malah anti Pancasila? Padahal Pancasila adalah pedoman hidup dan tidak hanya dihafalkan, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencegah radikalisme di kalangan milenial dan gen Z maka harus dengan strategi khusus. Pertama, mengangkat duta anti radikalisme dari kalangan gen Z dan milenial. Tugas mereka adalah mengedukasi bahwa radikalisme dan terorisme sangat berbahaya bagi perdamaian Indonesia.
Edukasi wajib dilakukan oleh orang yang seusia dengan gen Z karena mereka lebih bisa dipercaya. Beda jika yang berbicara orang yang lebih tua, karena dianggap menggurui. Duta anti radikalisme berusaha agar gen Z tidak terpapar radikalisme, dan membuat banyak konten berisi nasionalisme dan kebangsaan, serta Pancasila. Ini dilakukan sebagai cara untuk membendung konten radikalisme di media sosial.
Kedua, perlu ada kerja sama dengan pengelola media sosial. Ketika ada konten bernuansa radikalisme maka wajib diblokir, karena sangat sensitif dan berbahaya. Pengelola wajib bekerja sama dengan polisi siber untuk memberantas radikalisme di dunia maya, yang menyasar gen Z dan milenial.
Sementara itu, Ustazah S Khamdi menyatakan bahwa gen Z memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Namun rasa ini bisa menjadi bumerang karena mereka mempelajari ilmu secara sembarangan (tanpa guru yang jelas) dan hanya membaca dari internet. Padahal tidak semua konten di dunia maya itu benar, karena bisa jadi dibuat sebagai propaganda oleh kelompok radikal.
Gen Z dan milenial juga memiliki sikap terbuka, terutama di internet. Mereka sejak kecil sudah terpapar internet dan mengakses media sosial dengan mudah. Di dunia maya mereka bersikap terbuka kepada siapa saja, termasuk ke orang-orang yang baru dikenal. Ini titik bahaya karena anggota kelompok radikal bisa sok akrab lalu menggaet mereka jadi target baru.
Dalam teori psikologi disebutkan bahwa ketika manusia membuka media sosial maka otaknya dalam keadaan rileks. Saat santai maka informasi apa saja dengan mudah masuk ke dalam pikirannya, termasuk ajaran dari kelompok radikal. Oleh karena itu gen Z dan milenial bisa terpapar radikalisme dari media sosial dan mereka terlalu mudah mempercayainya, karena otaknya dengan mudah dicuci dengan propaganda mereka.
Oleh karena itu orang tua wajib mengawasi anaknya yang masuk dalam kategori gen Z dan milenial. Jangan dibiarkan saja tetapi sesekali cek history di gadget-nya. Ini bukanlah pelanggaran privasi, melainkan cara mencegah mereka untuk terseret dalam racun radikalisme dan terorisme.
Penyebabnya karena radikalisme saat ini menyebar dengan luas melalui media sosial.
Anak yang masuk dalam kategori gen Z dan milenial wajib dirangkul dan diberi kasih sayang. Jangan dibiarkan mereka diam di rumah lalu menatap gadget selama berjam-jam. Sebenarnya mereka kesepian dan membutuhkan cinta (perhatian) dari kedua orang tuanya, yang terlalu sibuk bekerja. Jika mereka diperhatikan maka tidak akan mencari pelarian di media sosial dan terseret menjadi kader radikal dan teroris.
Jika gen Z dan milenial sudah paham bahwa radikalisme berbahaya maka mereka mencari cara menangkalnya. Caranya dengan membuat kampanye bahwa radikalisme itu berbahaya dan bisa menghancurkan Indonesia.
Radikalisme dan terorisme wajib diberantas di negeri ini. Jangan sampai gen Z dan milenial menjadi kader teroris baru karena berkenalan dengan kelompok radikal di media sosial. Mereka wajib memberantas radikalisme dan terorisme, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute