Oleh : Sabrina Putri Dayanti
Indonesia sudah menjadi basis industri manufaktur terbesar se-ASEAN dengan kontribusi mencapai 20,27% pada perekonomian skala nasional. Saat ini, perkembangan industri manufaktur di Indonesia mampu menggeser peran commodity based menjadi manufacture based.
Pemerintah terus berupaya untuk melakukan transformasi perekonomian agar lebih fokus pada proses perkembangan industri non migas. Hingga saat ini Indonesia masih jadi tujuan investasi industri manufaktur di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa industri manufaktur dinilai lebih produktif dan bisa memberikan efek berantai secara luas sehingga mampu meningkatkan nilai tambah bahan baku, memperbanyak tenaga kerja, menghasilkan sumber devisa terbesar, serta penyumbang pajak dan bea cukai terbesar.
Airlangga menambahkan bahwa nilai Manufacturing Value Added (MVA) untuk industri manufaktur Indonesia berada di posisi paling atas di antara negara ASEAN dengan pencapaian sebesar 4,5%. Sedangkan secara global, manufaktur Indonesia berada di peringkat ke-9 dari seluruh negara di dunia.
Menurut Airlangga, salah satu alasan mengapa industri manufaktur Indonesia menjadi yang terbesar se-ASEAN adalah karena sistem perekonomian di Indonesia sudah termasuk dalam kelompok one trillion dollar club yang jelas berbeda dengan negara lainnya di ASEAN.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Januari hingga September 2022, sektor industri manufaktur memberikan kontribusi sebesar 40,9% terhadap total investasi yang mencapai Rp892,4 triliun. Secara kumulatif, investasi di Indonesia tumbuh 35,3% yaer on year (y-o-y) dan mencapai sebesar 74,4% dari target Rp1.200 triliun pada 2022.
Sedangkan, untuk penanaman modal asing (PMA) di sektor industri manufaktur menembus sebesar Rp260,3 triliun. Subsektor yang paling memberikan kontrubusi besar adalah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin, dan peralatannya hingga menyentuh USD 8,5 miliar atau menyokong setara dengan 25,3% dari seluruh realisasi PMA yang berada di angka Rp479,3 triliun.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan bahwa Indonesia masih menjadi negara tujuan investasi bagi pelaku industri manufaktur nasional maupun global walau saat ini kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu. Hal ini tercermin dari realisasi penanaman modal sektor industri manufaktur pada periode Januari-September 2022, pencapaiannya hingga Rp365,2 triliun.
Agus menambahkan pencapaian tersebut meningkat 54 persen dibanding periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp236,8 triliun. Hal tersebut merupakan dampak dari kebijakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang telah menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35 persen pada tahun 2022. Kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki neraca perdagangan nasional, terutama bagi bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan atau manufaktur nasional.
Sementara untuk PMA, realisasi di sektor industri manufaktur menembus Rp260,3 triliun. Subsektor yang menyokong paling besar adalah industri logam dasar, barang logam, serta bukan mesin dan peralatannya dengan investasi menyentuh 8,5 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) atau berkontribusi 25,3 persen dari seluruh realisasi PMA yang berada di angka Rp479,3 triliun.
Agus menegaskan, kepercayaan diri para investor di sektor industri ini harus tetap dijaga, yang didukung dengan berbagai kebijakan strategis. Namun tak hanya investasi, pemerintah juga terus mendorong hilirisasi industri yang berkontribusi signifikan terhadap pemasukan negara melalui pajak ekspor, royalti, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan dividen.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin, Ignatius Warsito mengatakan substitusi impor juga mendorong peningkatan utilitas industri domestik, peningkatan investasi dan akselerasi program hilirisasi untuk memperkuat tatanan sektor manufaktur nasional. Kebijakan ini memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh berkembang dan meningkatkan daya saing.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga mendorong penggunaan produk-produk dalam negeri. Dengan peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), Ignatius berharap dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku dan produk-produk kosmetik impor.
Ignatius menilai, penerapan industri 4.0 bukan hanya mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka mendukung peningkatan teknologi dan inovasi yang dikembangkan, namun juga mengedepankan pengembangan sumber daya manusia melalui budaya serta etos kerja yang diharapkan dapat memberi nilai tambah dalam upaya meningkatkan daya saing global.
Pada situasi dunia saat ini yang dilanda krisis pangan, energi, hingga finansial, semua negara berlomba-lomba berebut investasi karena investasi dapat mendorong peningkatan nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan devisa. Oleh karena itu, pemerintah fokus untuk menciptakan iklim usaha dan investasi yang kondusif dengan menjaga stabilitas ekonomi dan politik yang baik di dalam negeri.
Berbagai indikator penting pembangunan terus menunjukkan perbaikan, dan ini menandakan optimisme bagi Indonesia untuk melakukan percepatan pemulihan dan pertumbuhan sehingga mampu menuju transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Penulis adalah Pengamat ekonomi dari FEB Universitas Indonesia