Oleh : Saby Kosay
Kasus yang membelit Gubernur Papua LE masih berlarut-larut karena ia masih menolak panggilan KPK, padahal statusnya sudah tersangka. Seharusnya ia datang ke Gedung Merah Putih KPK dan mempertanggungjawabkan kesalahannya. Penyebabnya karena jika kasus korupsi ini tak kunjung selesai, masyarakat Papua akan resah karena mereka terbagi dua: ada yang membela dan ada yang mengecam LE.
LE menjadi tokoh yang banyak dibicarakan oleh publik karena tersangkut kasus korupsi. Tak tanggung-tanggung, uang yang ia curi sampai lebih dari 500 milyar rupiah. KPK sudah menetapkannya sebagai tersangka, sejak awal September 2022. Namun ia tak pernah menampakkan batang hidungnya di Gedung Merah Putih KPK untuk melakukan pemeriksaan.
Saat ini posisi LE masih di rumahnya, di Jayapura, Papua. LE selalu beralasan ia punya penyakit jantung dan stroke yang parah sejak beberapa tahun lalu, sehingga sangat riskan untuk terbang ke Jakarta dan memenuhi panggilan KPK. Jika ia terus mengelak dari panggilan maka tidak menghormati proses hukum dan kasusnya akan berlarut-larut.
Padahal ada banyak kerugian jika kasus LE tidak kunjung selesai. Di antaranya adalah hilangnya perdamaian di Papua. Rakyat terbelah menjadi 2 kubu, ada yang membela LE, tapi ada juga yang mengecamnya karena korupsi dana otonomi khusus (yang seharusnya untuk kepentingan warga Papua). Sebagian warga yang membela LE sampai hampir sebulan ini berjaga di sekitar rumahnya, bahkan ada yang membawa senjata tradisional.
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena akan memecah warga Papua dan menyebabkan pertikaian yang mengerikan. Nikolas Demetouw, warga Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, mengaku khawatir akan situasi keamanan di Papua, setelah LE dijadikan tersangka oleh KPK. Ia menghimbau rakyat di wilayah adatnya untuk tidak terpengaruh akan kasus LE.
Dalam artian, LE tidak boleh memecahkan perdamaian di Papua dengan status bualan Kepala Suku Besar. LE juga jangan meminta perlindungan dari warga dengan mengawalnya di sekitar rumahnya. Apalagi meminta pemeriksaan dilakukan di lapangan terbuka dan ditonton oleh warga sipil dan masyarakat adat. Seharusnya ia tidak boleh memakai hukum adat karena kasusnya adalah tindak pidana korupsi, bukan permasalahan adat.
Jika kasus LE adalah murni korupsi, seharusnya ia diperiksa di KPK, karena memang tempatnya. Bukannya bersembunyi dengan alibi sakit keras. Kasihan sekali warga Papua yang mendukungnya, bahkan berjaga sampai 200 meter. Mereka bisa bentrok dengan petugas jika ada penjemputan dari KPK, karena sesuai aturan LE sudah 2 kali mangkir dari panggilan dan harus dijemput paksa.
Ketika ada bentrok dengan petugas maka takut ada pertikaian dan pertumpahan darah, karena segelintir warga Papua yang berjaga di rumah LE sudah terlanjur emosi. Apakah LE tidak takut perdamaian akan rusak dan menyebabkan warganya sendiri terluka? Sebagai seorang gubernur seharusnya ia lebih bersikap bijak dan memikirkan nasib rakyatnya, bukannya mementingkan diri sendiri.
Nikolas melanjutkan, ia khawatir karena LE mengklaim dirinya sendiri sebagai Kepala Suku Besar di Papua. Takutnya setelah ada klaim sepihak dari LE , maka bisa terjadi pertikaian antar suku. Ia tidak setuju karena di Jayapura sudah ada kepala sukunya sendiri, sedangkan jabatan LE bukan kepala suku, melainkan seorang gubernur.
Seorang kepala suku di Papua tidak membawahi satu wilayah, melainkan hanya 1 suku. Misalnya Ondoafi (kepala suku) di Sentani adalah kepala suku Sentani, sedangkan untuk suku Arso, Genyem, dan lain-lain kepala sukunya berbeda lagi. LE tidak bisa mengaku sebagai kepala suku besar karena jabatan itu tidak pernah ada.
Dalam artian, tidak pernah ada kepala suku di Papua yang meresmikan LE sebagai seorang Kepala Suku Besar. Jika seandainya jabatan itu ada, maka seharusnya seluruh kepala suku di Papua berada dalam 1 gedung, lalu mengesahkan LE sebagai pemimpin mereka. Namun peristiwa itu tidak pernah terjadi.
Penyataan LE sangat meresahkan karena menyinggung kepala suku dan masyarakat adat. Takutnya akan ada peperangan antar suku lagi di Papua, padahal sudah puluhan tahun tidak pernah terjadi. Warga Papua terbagi jadi 2 kubu, yang membela dan mencela LE, dan suku-sukunya bisa berseteru dan bersiap dengan panah dan busurnya.
Dalam peperangan, yang paling dirugikan adalah wanita dan anak-anak. Perang antar suku harus dicegah karena membahayakan banyak orang. LE tidak memikirkan dampak negatif ini akibat pernyataannya mengenai Kepala Suku Besar Papua. Alangkah sedihnya ketika ia membual dan berbuntut panjang, karena memicu permusuhan antar suku sampai bertahun-tahun ke depan.
Oleh karena itu kasus LE harus diusut dengan tuntas agar lekas selesai. LE harus datang ke Jakarta untuk diperiksa penyidik KPK, dan jika khawatir sakit maka bisa disertai dokter pribadinya. Jangan sampai gara-gara LE, rakyat yang jadi korban dan pembangunan Papua menjadi terhambat,
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta