Oleh : Alfred Jigibalom
Kelompok Separatis Teroris (KST) Papua merupakan sekumpulan orang yang gemar melakukan perlawanan serta melahirkan keonaran, ulah mereka membuat pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah terhambat. Kelompok seperti KST tentu saja tidak bisa dibiarkan karena keberadaannya dapat menghambat kemajuan di Papua.
Keberadaan KST telah membuat kondisi di Papua belum sepenuhnya damai. KST tidak hanya melakukan serangan secara verbal tetapi juga perbuatan. Serangannya juga semakin parah, mereka tega merusak rumah warga serta membakar sekolah. Tidak hanya itu, KST juga meneror rumah Ibadah.
KST merupakan kelompok yang tidak senang melihat kemajuan Papua, ulah mereka yang menyerang rumah ibadah sudah menjadi bukti bahwa mereka tidak memiliki rasa welas asih kepada masyarakat yang ada di Papua.
Seolah tak pernah jera dalam melancarkan serangan teror di Papua, KST tidak pandang bulu dalam menyerang targetnya, baik itu pendatang, TNI/Polri maupun Orang Asli Papua itu sendiri.
Kekejaman yang dilakukan oleh KST merupakan aksi kekerasan yang dilakukan di luar nalar serta akal sehat, serangan tersebut justru membuktikan bahwa KST telah mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan dalih merasa teraniaya dan ingin merdeka serta hidup mulia, tapi kenyataannya justru KST menolak kemajuan di Papua dan memperpanjang penderitaan rakyat.
Seiring keseriusan pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam melakukan pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat di wilayah Papua. Namun keseriusan tersebut justru dikacaukan oleh KST yang bangga atas perbuatan onar dan bejatnya.
Salah satu bukti KST menghambat kemajuan Papua adalah, terjadinya peristiwa pada Maret 2022. KST menyerang dan menembak aparat TNI Satgas Kodim Yonif R 408/SBH di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, yang sedang memperbaiki saluran air hingga mengakibatkan salah satu prajurit TNI Pratu Heriyanto terkena tembakan di bagian leher.
Atas ulah brutal KST tersebut dengan mengabaikan HAM, tentu saja AKT telah menjadi sorotan tidak hanya di Papua dan Nasional, namun dunia pun mengutuk tindakan kekerasan yang tidak berperikemanusiaan.
Pada 8 April 2021 lalu, KST pimpinan Nau Waker membakar tiga sekolah yakni SD, SMP dan SMA di wilayah kampung Julukoma, distrik Boega, Kabupaten Puncak, Papua. Aksi teror ini dilakukan sore hari setelah pada pagi harnya menembak mati seorang guru SD yang bertugas di sekolah tersebut.
Selain itu, pada 15 September 2022, KST juga menganiaya 6 tenaga kesehatan di Kiwirok Pegunungan Bintang, Papua. Insiden tersebut menyebabkan 4 orang luka-luka, 1 orang tewas dan 1 orang dinyatakan hilang.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah meminta kepada anggota Polri dan Prajurit TNI untuk mewaspadai adanya ancaman dari KST yang aktivitasnya kerap mengganggu masyarakat sipil di Papua.
Eksistensi KST di Papua dengan semua aksi bejadnya selama ini pasti menimbulkan rasa takut yang tak berkesudahan bagi warga setempat. Tidak salah jika warga Papua meradang dan mengekspresikan kecemburuan mereka terhadap saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air di wilayah lain yang boleh menikmati dinamika kehidupan normal tanpa rasa takut oleh serangan dadakan dari KST.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai, anggota KST di Papua kini bukan lagi melakukan makar, tapi juga tindakan terorisme.
Dirinya juga meminta agar TNI dan Polri tidak perlu memikirkan dengan adanya dampak narasi atau framing politik dari pihak luar terkait pelanggaran HAM. Menurutnya Komisi III DPR akan mengcounter narasi-narasi tersebut.
Arsul juga menuturkan bahwa tindakan KST ini sudah melewati batas. Menurut Arsul aksi pembantaian terhadap warga sipil yang kerap dilancarkan oleh KST tersebut sudah masuk pada kejahatan pelanggaran HAM berat. KST sendiri telah mencoreng nama Papua yang dikenal sebagai wilayah yang indah. Keindahan Papua tidak semestinya dirusak oleh keberadaan KST yang gemar menebar teror.
Irjen Mathius D Fakhiri selaku Kapolda Papua menuturkan, bahwa selama 6 bulan pertama di tahun 2022, tercatat terdapat 44 gangguan dari KST, artinya tidak ada bulan tanpa gangguan teror di Papua. Jumlah ini meningkat di mana tahun lalu hanya terjadi 34 kasus. Gangguan tersebut terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Nduga, Yakuhimo, Pegunungan Bintang, Puncak dan Painai.
KST telah menorehkan kasus-kasus berat, seperti pembunuhan masal, pencurian bahkan pembakaran fasilitas umum. Jika terdapat anggota KST yang tertangkap, tentu saja wajib mendapatkan hukuman berat sebagai efek jera.
Di sisi lain, masyarakat Papua jangan sampai termakan propaganda ataupun hoaks dari anggota KST yang dilakukan untuk mengambil simpati warga Papua. Tindakan tegas dari aparat merupakan bentuk perlindungan kepada Papua, bukan pelanggaran HAM ataupun upaya militerisasi Papua.
KST terbukti telah melancarkan aksi brutal yang membuat kerugian, padahal pemerintah sedang berupaya membangun Papua agar wilayah paling timur di Indonesia ini dapat semakin majun dan berkembang.
Penulis adalah Mahasiswa Papua tinggal di Bali