Oleh: Reenee Winda (Senior Journalist/Kontributor Senior)
Presiden RI, Joko Widodo telah menandatangani Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP usai rancangannya disahkan oleh DPR RI pada 6 Desember 2022 lalu. KUHP baru diharapkan dapat menjamin keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses hukum.
KUHP baru merupakan produk hukum buatan para profesor Indonesia, dan menggantikan posisi KUHP lama yang merupakan produk hukum buatan Belanda di era kolonial. Dengan KUHP baru maka diharap hukum pidana di Indonesia menjadi lebih baik, karena tiap pasalnya mengatur kehidupan masyarakat dengan lebih detail.
KUHP terbaru itu terdiri dari 37 bab, 624 pasal, dan 345 halaman. Kemudian, KUHP juga terbagi dalam dua bagian yaitu bagian pasal dan penjelasan dan akan diberlakukan tiga tahun kemudian sejak disahkan.
Pemerintah melalui instansi terkait, Kemenkumham maupun stakeholder terkait lainnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat dalam masa transisi itu. Sosialisasi juga dilakukan pemerintah, bekerja sama dengan sejumlah universitas dan lembaga lainnya. Salah satunya sosialisasi KUHP baru yang dilaksanakan di Hotel Patra Semarang, pada 1 Februari 2023. Hadir dalam sosialisasi tersebut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof. Topo Santoso; Guru Besar Universitas Krisnadwipayana, Prof Indriyanto Seno Adji; dan Anggota tim ahli Rancangan KUHP, yang juga Guru Besar Hukum Pidana dari UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo.
Dalam acara sosialisasi yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) tersebut, Sekjen Mahupiki, Dr. Ahmad Sofyan, mengungkapkan bahwa kegiatan ini bertujuan menyosialisasikan sekaligus mendiskusikan atau mendialogkan KUHP baru agar seluruh lapisan masyarakat memahami secara utuh substansi UU tersebut. Selain itu, para peserta yang hadir dinilai cukup beruntung karena dapat berdialog langsung dengan para narasumber yang juga merupakan tim perumus penyusun KUHP baru ini.
Senada dengan pernyataan Sekjen Mahupiki, Wakil Rektor Bidang Akademik Unnes Semarang, Prof. Dr. Zaenuri Mastur juga menyatakan kebahagiaannya mengingat Semarang menjadi salah satu wilayah terselenggaranya sosialisasi KUHP. Acara ini merupakan sarana mendiseminasikan dan mendialogkan KUHP kepada publik agar memahami substansinya, kemudian dapat diimplementasikan. Prof. Zaenuri yang hadir mewakili Rektor Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. S. Martoni, itu juga berpesan perlunya pemahaman akan urgensi pembaruan KUHP di era saat ini.
Guru Besar FH UI, Prof. Topo Santoso sebagai narasumber dalam acara ini mengatakan, salah satu perbedaan antara KUHP baru atau nasional dengan KUHP yang lama atau Wetboek van Strafrecht (WvS) adalah sudah munculnya pembahasan beserta naskah akademiknya dalam bab atau buku tindak pidana, pertanggung jawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.
Prof. Topo juga menegaskan sejatinya KUHP nasional ini merupakan bentuk pembaruan atau update dari yang lama dengan mengadopsi atau mengacu KUHP WvS. Hal ini menunjukkan perkembangan zaman yang memungkinkan terjadinya tindak pidana melalui perantara alat yang canggih atau artificial intelligence sudah diatur dalam KUHP nasional ini. Selain itu, pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok tetapi menjadi pidana khusus dengan masa uji coba 10 tahun untuk selanjutnya dapat dirubah menjadi pidana seumur hidup dengan catatan persetujuan Presiden.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana UI, Prof. Dr. Hakristuti Harkrisnowo menuturkan beberapa pasal yang menjadi perhatian publik dalam KUHP baru ini diantaranya berkaitan dengan Living Law atau hukum adat, aborsi, perzinaan dan kohabitasi, serta penghinaan terhadap pimpinan negara atau lembaga negara. Pembahasan kohabitasi bahkan menjadi salah satu pasal yang paling disorot pada saat terjadi penolakan rencana KUHP pada tahun 2019 lalu.
Aksi penolakan tersebut sebagian berasal dari kalangan anak muda yang menilai hal tersebut sebagai bentuk hak privasi. Pada saat penolakan kalangan mahasiswa yang mana mayoritas berasal dari para anak muda berkaitan perumusan dan rancangan KUHP ini pasal yang mereka soroti adalah perzinaan atau kohabitasi.
Disamping kohabitasi, perhatian juga berkaitan dengan pasal tentang aborsi yang mana sebenarnya sudah diatur sebelumnya dalam KUHP lama maupun UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun sebagai catatan, yang diatur sebelumnya adalah usia kehamilan dalam aborsi diperbolehkan asal tidak lebih dari 42 hari, dan saat ini batasan diperbolehkannya menjadi 14 minggu.
Kondisi tersebut dilatarbelakangi perlindungan kepada korban pidana perkosaan yang seringkali belum menyadari mengalami kehamilan.
Narasumber lain dalam acara tersebut, Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, mengatakan bahwa tindak pidana secara umum bersifat sangat dinamis mengikuti perkembangan dan dinamika global, regional, hingga nasional. Oleh karenanya perlunya pembaruan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia melalui KUHP nasional ini.
Prof. Indriyanto menyayangkan pemahaman dari beberapa pihak terhadap KUHP nasional yang tidak secara mendalam, utuh dan rinci. Menurutnya, pemahaman yang rendah dan mudah termakan isu ini yang memunculkan miskomunikasi dan misinformasi publik akan pemahaman secara utuh substansi pasal-pasal yang diatur dalam KUHP.
Acara sosialisasi dihadiri hampir 200 orang, terdiri dari banyak kalangan, mulai dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Jawa Tengah dan Perwakilan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, praktisi hukum, akademisi, mahasiswa sampai masyarakat umum. Seperti diketahui sebelumnya, Rancangan Undang-Undang KUHP secara resmi telah disahkan dalam rapat paripurna di gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Pembaharuan dalam KUHP sudah sangat sesuai dengan budaya majemuk Indonesia, sehingga cukup heran jika masih ada pihak-pihak yang menolaknya. Maka dari itu, diharapkan sosialisasi-sosialisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah bisa mengubah kesalahan berpikir publik dan memahami betul urgensi penerapan KUHP baru bagi kelangsungan hukum yang berkeadilan di Tanah Air tercinta.