Oleh : Safira Tri Ningsih
Kehadiran KUHP nasional terbaru dianggap sangat mampu menjadi sebuah jembatan dan juga sekaligus menjadi jalan tengah akan adanya keberagaman sudut pandang yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia lantaran negara ini terdiri dari masyarakat yang sangat majemuk dengan banyak latar belakang.
Banyak pihak memang sudah sejak jauh hari menilai bahwa pembaharuan akan sistem hukum pidana yang ada di Indonesia, serta bagaimana kehadiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana nasional yang belakangan ini telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama dengan Pemerintah menjadi sebuah hal yang sangatlah mendesak supaya bisa segera menggantikan posisi KUHP lama peninggalan jaman kolonial Belanda.
Terkait hal tersebut, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Eddy Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa setidaknya terdapat beberapa nilai pokok yang memang melatarbelakangi mengapa kepentingan tersebut sangatlah mendesak. Pasalnya, dirinya menegaskan bahwa memang sistem hukum di Indonesia seharusnya mampu menyesuaikan dengan bagaimana perkembangan jaman yang sedang terjadi, kemudian mampu untuk berorientasi dengan hukum pidana modern hingga memiliki kemampuan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu menjembatani keberagaman sudut pandang yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sebagai akibat dari diversitas yang tinggi di Tanah Air.
Lebih lanjut, Wamenkumham tersebut menjelaskan bahwa selama ini, KUHP peninggalan Belanda yang sudah dipakai dan dberlakukan di Indonesia ternyata sudah disusuk sejak tahun 1800 silam, yang mana berarti bahwa sistem hukum pidana tersebut saat ini sudah berusia sekitar 222 tahun lamanya.
Dengan kapan waktu penyusunan yang sudah lebih dari 2 abad lalu tersebut, tentunya KUHP lama memiliki pandangan hukum pidana yang beraliran klasik, yangmana terlalu menitikberatkan pada kepentingan individu saja. Padahal di sisi lain, sebenarnya telah banyak sekali terjadi perkembangan jaman yang luar biasa hingga detik ini, maka dari itu memang sudah sewaktunya KUHP nasional diberlakukan sebagai upaya penyesuaian dengan perkembangan jaman tersebut.
Bagaimana tidak, pasalnya seluruh proses penyusunan KUHP nasional terbaru ini terus diupayakan untuk berorientasi pada hukum pidana modern, yakni dengan menerapkan asas keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif. Selain itu, pria yang juga menjadi Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut mengemukakan bahwa tanpa disadari, ternyata KUHP lama peninggalan Belanda sama sekali tidak menjadi adanya kepastian hukum lantaran bisa diterjemahkan secara berbeda-beda oleh para ahli hukum.
Berangkat dari persoalan sangat fundamental tersebut, yakni bahwa KUHP lama peninggalan Belanda sama sekali tidak mampu menghadirkan kepastian hukum karena sangat multitafsir, sontak akan membuat bingung terkait bagaimana keberlakuan hukum pidana di Indonesia sendiri karena bahkan sampai saat ini sama sekali tidak ada yang mengetahui bagaimana versi yang paling sah, yang paling asli dan yang paling benar adalah berasal dari terjemahan menurut siapa.
Sementara itu, Ketua DPR RI, Puan Maharani menegaskan bahwa pihaknya bersama dengan Pemerintah RI terus berupaya untuk mampu menghadirkan sebuah jembatan yang mampu menangkap dan menampung seluruh perbedaan sudut pandang yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang sangat beragam ini.
Maka dari itu, menurutnya sangat penting adanya KUHP nasional dan sekaligus menjadi sebuah langkah sangat besar dalam upaya terus mewujudkan Indonesia sebagai sebuah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. Sehingga menurutnya, KUHP baru bukan hanya merupakan upaya rekodifikasi terbuka saja akan seluruh ketentuan pidana dan mampu menjawab bagaimana dinamika perubahan dan perkembangan di masyarakat, namun juga sekaligus mampu untuk menyamakan seluruh pandangan rakyat Indonesia yang sangat majemuk. Hal tersebut juga senada dengan ungkapan Wamenkumham mengenai adanya kepastian hukum.
Di sisi lain, Staf Ahli Bidang Politik dan Keamanan, Y. Ambeg Paramarta menjelaskan bahwa dalam perjalanannya untuk melakukan pembaruan KUHP, bahkan sudah dicanangkan oleh para pendiri bangsa sejak lama, yakni sejak tahun 1958 silam. Hal tersebut sejalan dengan didirikannya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), yang mana saat ini menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Ambeg menambahkan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional atau pada waktu itu bernama LPHN pada tahun 1963 benar-benar terus mendesak supaya terjadi pembaruan akan KUHP lama peninggalan Belanda menjadi KUHP nasional buatan anak bangsa. Sejauh ini, Pemerintah sendiri sudah banyak melakukan sosialisasi dan juga diskusi terkait KUHP nasional kepada seluruh elemen masyarakat secara luas.
Kegiatan sosialisasi dan diskusi tersebut dilakukan dengan tujuan bukan hanya untuk memberikan penjelasan secara lebih lengkap dan mendalam terkait isi dari KUHP nasional kepada semua masyarakat, namun juga sesuai dengan arahan langsung dari Presiden RI, Joko Widodo bahwa supata kegiatan tersebut mampu menghimpun banyak pendapat atau masukan hingga seluruh aspirasi dari seluruh masyarakat.
Tentunya penghimpunan seluruh pendapat, masukan dan aspirasi masyarakat Indonesua yang memiliki latar belakang sangat majemuk ini kemudian menjadi persoalan tersendiri. Maka dari itu, dengan adanya KUHP nasional dianggap sangat mampu untuk menjadi sebuah jembatan dan jalan tengah yang mengakomodasi seluruh perbedaan pendapat dan sudut pandang yang dimiliki masyarakat Indonesia.
Penulis adalah kontributor Daris Pustaka