Oleh: Reenee WA
KUHP Nasional merupakan perwujudan reformasi sistem hukum secara menyeluruh yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia dan HAM secara universal. Sedangkan KUHP lama tidak mencerminkan Pancasila.
Seperti yang dikatakan oleh Guru Besar Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof. Dr. H. R. Benny Riyanto, SH., M.Hu, Secara Politik Hukum KUHP (WvS) tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Negera yaitu Pancasila.
Padahal, Pancasila merupakan ideologi atau dasar negara yang sudah final, sehingga keberadaannya harus menjadi norma dasar dalam penyusunan undang-undang ataupun regulasi.
KUHP lama peninggalan Belanda sudah ada sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, tetapi sampai saat ini belum ada terjemahan resminya, sehingga muncul banyak terjemahan yang berpotensi menimbulkan multitafsir.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru telah disahkan pada 6 Desember 2022 dan efektif diberlakukan pada 2025 mendatang. Pada dasarnya, KUHP baru merupakan bukti konkrit pemerintah untuk menciptakan kepastian hukum dalam hukum pidana dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia dari tindak kejahatan.
Namun, sangat disayangkan perjalanan KUHP oleh masyarakat seringkali dianggap sebagai produk hukum yang tidak memenuhi prosedur. Padahal prosesnya sudah sangat jelas dan sejak diajukan kembali tahun 2015 oleh Presiden Joko Widodo, sudah ada Perpres 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Urgensitas mengganti KUHP lama menjadi KUHP Nasional, lanjut Prof Benny, salah satunya adalah karena telah terjadi pergeseran paradigma keadilan. Jika dulu menggunakan paradigma keadilan retributif, kini menjadi keadilan yang korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban dan rehabilitatif bagi korban maupun pelaku.
Hal tersebut dipaparkan Prof Benny saat sosialisasi KUHP yang digelar MAHUPIKI di Kota Pontianak Kalimantan Barat.
KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda dan memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS). WvS diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Upaya pembaruan KUHP dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Sedangkan Tahun 1964 mulai disusun draf Buku I sampai sekarang sudah ada 25 draf.
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) pertama kali disampaikan ke DPR pada Tahun 2012 pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun belum sempat dibahas dan pada tahun 2015 Presiden Joko Widodo menyampaikan kembali ke DPR.
Kemudian, penyampaian Kembali RUU KUHP ke DPR pada Juni 2015 tersebut membawa konsekuensi prosedur formal pengajuan RUU KUHP jauh lebih lengkap, karena pada saat itu sudah ada Perpres 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Prof Benny juga menjelaskan bahwa ada pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana saat ini, yakni dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban) dan rehabilitatif (bagi keduanya). Selain itu, KUHP mengakomodasi nilai-nilai budaya dan bangsa dan memasukkan norma yang melindungi Pancasila.
KUHP memang sudah diundangkan namun sosialisasi akan terus digencarkan pemerintah bekerjasama dengan sejumlah pihak seperti para akademisi dan masyarakat hukum. Hal tersebut dalam rangka memberikan pemahaman yang benar kepda masyarakat umum terkait pasal-pasal dalam KUHP, terutama pasal-pasal yang menimbulkan pertanyaan atau sebelumnya menuai kontra.
Pakar Hukum Universitas Indonesia, Prof.Dr.Topo Santoso, S.H., M.H., dalam pemaparannya menyebut bahwa terdapat Trias Hukum Pidana, yaitu tindak Pidana, petanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.
Menurut Prof Topo, dalam KUHP baru, tujuan pemidanaan ada pencegahan, pemasyarakatan atau rehabilitasi, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan dan penciptaan rasa aman, serta penumbuhan penyesalan terpidana.
Sedangkan terkait denda, papar Prof. Topo, wajib mempertimbangkan kemampuan, penghasilan dan pengeluaran terdakwa yang nyata, namun tidak mengurangi penerapan minimum khusus pidana denda, dapat dibayar dengan cara mengangsur, dan wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan.
Saat ini Indonesia mempunyai KUHP Nasional yang way of life-nya sangat menganut nilai-nilai bangsa Indonesia dan sama sekali tidak langsung mengikuti apa yang telah diterapkan di jaman kolonial Belanda.
Namun juga dalam KUHP Nasional telah ada beberapa pembaharuan dan juga telah menganut nilai-nilai secara universal, yang sejak dulu hingga sekarang tetap ada. Tetapi ada hal-hal yang kurang sesuai dengan nilai Indonesia itu yang diperbarui.
Dalam KUHP, terdapat sejumlah isu krusial dalam pasal KUHP yang perlu disosialisasikan antara lain terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, larangan penghasutan kepada penguasa, pidana mati, serta penodaan agama. Isu krusial lainnya seperti kejahatan kesusilaan, pencabulan, perzinahan serta living of law.
Terkait Living Law, sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup, namun tetap dengan dibatasi oleh Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa2.
Untuk diketahui, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) resmi diteken Presiden Joko Widodo, namun KUHP baru ini berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. KUHP baru itu berisi 624 pasal dan menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda.
Pengamat Sosial Politik / Kontributor Senior Persada Institute