Oleh : Bimo Ariyan Beeran
KUHP akan mencegah tersebarnya hoaks karena ada pasal larangan menyebarkan berita palsu. Aturan ini sangat bagus sebab hoaks sangat berbahaya, karena dapat mengakibatkan banyak hal negatif. Masyarakat dapat tawuran hanya gara-gara hoaks yang beredar di sosial media.
Ketika internet booming di Indonesia tahun 2000, netizen menggunakannya dengan senang. Mereka dapat membaca apa saja, mulai dari berita di sosial media maupun di media online. Namun sayang banyaknya informasi di internet tidak diimbangi dengan kemampuan untuk menyaring, mana yang berdasarkan fakta dan mana yang berita palsu.
Berita palsu alias hoaks sangat meresahkan karena tersebar dengan cepat, dari grup WA maupun grup FB. Persebaran hoaks membuat situasi kacau karena banyak yang akan tertipu, tetapi ketika diberi tahu kebenarannya malah marah-marah. Untuk mencegah tersebarnya hoaks maka pemerintah membuat Pasal 262 dalam KUHP.
Pasal 262 KUHP ayat 1 berisi : Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Analis Kebijakan Utama Bidang Jemen Ops Itwasum Polri, Irjen Pol. Rikwanto, S.H, menyatakan bahwa penebar hoaks di dunia maya dapat dikenakan pasal dalam KUHP atau di luarnya (misalnya UU ITE). Hoaks bertujuan untuk menghasut individu atau kelompok tertentu.
Dalam artian, hoaks berbahaya karena memicu orang lain untuk saling membenci dan dapat menyinggung SARA (suku, ras, agama, dan antar golongan). Jika tidak ada pasal di KUHP yang memberi hukuman atau denda kepada para penyebar hoaks, maka penyebarannya akan merajalela. Dan sampai saat ini hoaks makin menjamur, baik di grup WA keluarga atau grup lain.
Bahaya hoaks bukan sekadar ketegangan pada individu yang menerimanya. Namun ia dapat salah paham lalu mempercayai berita tersebut, padahal palsu. Misalnya saat ada vaksinasi Covid-19 pada awal tahun 2021 lalu. Namun malah banyak hoaks yang mengatakan bahwa vaksin itu haram, berbahaya, dan lain-lain.
Jika hoaks tersebar luas maka masyarakat akan takut untuk divaksin. Padahal vaksin adalah salah satu cara untuk terhindar dari ganasnya corona. Gara-gara hoaks maka banyak orang jadi anti vaksin lalu tertular virus Covid-19, dan mempertaruhkan nyawanya.
Begitu dahsyatnya pengaruh hoaks ke masyarakat. Oleh karena itu jika ada penyebar hoaks maka ia dapat dijerat pasal 262 KUHP. Ia terancam pidana penjara maksimal 6 tahun, atau denda sebanyak Rp500.000.000.
Mengapa dendanya sebanyak itu? Penyebabnya karena denda wajib diberikan sebesar mungkin agar sebagai efek jera (kapok). Penyebar hoaks akan benar-benar jera ketika terkena pidana denda lalu tidak akan mengulangi perbuatannya.
Bayangkan jika penyebar hoaks tidak terkena hukuman dan denda yang banyak. Hoaks akan makin tersebar lalu efek negatifnya sangat sulit untuk dihilangkan. Jika penyebar hoaks vaksin tidak dijegal dengan KUHP maka makin banyak korban corona dan cakupan vaksinasi di Indonesia tidak akan memenuhi target.
Oleh karena itu pasal tentang larangan penyebaran berita bohong tetap dipertahankan dalam KUHP. Masyarakat tidak dapat memprotesnya atau meminta agar pasal tersebut dihilangkan. Justru pasal tersebut sangat penting agar dunia maya tetap aman tanpa adanya propaganda dan hoaks.
Ketika tidak ada pasal larangan penyebaran hoaks dalam KUHP maka akan berbahaya, terutama di tahun politik seperti 2024. Jelang pemilihan presiden maka dapat jadi ada penyebaran berita palsu mengenai paslon (pasangan calon tertentu). Ia dapat kena fitnah kejam gara-gara hoaks yang beredar di masyarakat.
Masyarakat sudah paham bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan dan gara-gara beberapa baris dan foto hoaks, karakter seseorang dapat dibunuh. Hoaks dapat menggagalkan satu atau beberapa orang jadi pejabat. Padahal ia punya kemampuan dan kapabilitas yang bagus dalam mengemban amanah.
Kemudian, masyarakat tidak perlu takut terkena pasal larangan penyebaran hoaks KUHP lalu dipenjara karena men-share suatu berita. Untuk mencegah hal tersebut maka perlu ada literasi berinternet dan pelatihan bagaimana cara membedakan berita hoaks dengan yang asli.
Mengenai literasi, kemampuan membaca netizen Indonesia memang masih kurang, bahkan ada yang hanya membaca judulnya saja. Oleh karena itu masyarakat diminta untuk tidak termnakan judul berita, terutama yang terlalu bombastis, karena dapat saja itu teknik click bait yang mendulang banyak viewers tetapi isinya tidak sesuai dengan judulnya.
KUHP akan mencegah tersebarnya hoaks di Indonesia karena ada pasal larangan penyebaran berita palsu. Hukumannya adalah 6 tahun penjara atau denda Rp500.000.000. Hukuman seberat ini dirasa pantas karena menjadi efek jera bagi pelakunya. Ia tidak akan membuat dan menyebarkan hoaks. Masyarakat akan merasa aman, terutama di dunia maya, karena tidak ada lagi hoaks yang meresahkan.
Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara