Oleh : Rebecca Marian
LE ternyata bukanlah kepala suku besar di Papua sebagaimana klaim sepihak dari kuasa hukumnya. Hal tersebut dengan tegas dinyatakan oleh Tokoh Pemuda Papua sendiri, karena memang di sana ternyata ada banyak suku dan telah memiliki struktur kepemimpinan masing-masing serta sama sekali tidak memungkinkan adanya satu kepala suku yang membawahi semuanya.
Pemanggilan Gubernur Papua, LE untuk segera menjalankan pemeriksaan sebagai tersangka dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata masih belum membuahkan hasil. Pasalnya dari pihak kuasa hukum LE terus mengajukan beberapa permintaan mengenai proses pemeriksaan tersebut.
Padahal lembaga antirasuah itu sendiri sejatinya sudah melakukan panggilan kepada pria kelahiran tahun 1967 tersebut sebanyak dua kali, yang mana pada panggilan pertama dilakukan sejak tanggal 12 September 2022 lalu dan dirinya mengaku tidak bisa hadir akibat alasan masalah kondisi kesehatan yang belum memungkinkan.
Setelah itu, KPK melakukan pemanggilan untuk kedua kalinya, yakni pada 25 September 2022 dan masih saja Gubernur Papua itu melalui kuasa hukumnya mengaku bahwa masih sedang sakit sehingga sama sekali tidak bisa memenuhi panggilan pemeriksaan tersebut.
Bukan hanya itu, melalui kuasa hukumnya, LE mengajukan permintaan supaya bisa diberikan ijin untuk melakukan pengobatan hingga ke luar negeri. Namun, KPK langsung menghubungi Direktorat Jenderal Imigrasi agar supaya melakukan pencegahan dan Enembe tidak bisa bepergian ke luar negeri.
Tak kunjung menghadiri panggilan KPK agar segala penanganan dan pengusustan kasus dugaan korupsi ini bisa diselesaikan, justru salah satu kuasa hukum dari Kader Partai Demokrat itu, Aloysius Renwarin kembali mengajukan permintaan agar pemeriksaan kepada kliennya bisa dilakukan di lapangan saja.
Bukan tanpa alasan, melainkan menurutnya hal tersebut sudah menjadi bagian dari permintaan masyarakat adat Papua karena dirinya mengklaim bahwa LE sejak tanggal 8 Oktober 2022 lalu telah resmi dinobatkan menjadi kepada suku besar oleh dewan adat Papua yang terdiri dari 7 suku.
Maka dari itu, karena LE diklaim sudah menjadi kepala suku besar, maka dirinya harus diproses secara adat saja dengan menerapkan hukum adat yang berlaku di Tanah Papua. Tidak sampai di sana, Aloysius juga menambahkan bahwa pemeriksaan KPK kepada istri dan anak LE pun harus dilakukan di Papua sesuai dengan budaya mereka.
Mengetahui klaim yang diucapkan oleh kuasa hukum Gubernur Papua tersebut, Ketua Gerakan Pemuda Jayapura, Jack Puraro justru menegaskan hal yang sebaliknya. Dirinya dengan sangat tegas menyatakan bahwa LE bukanlah kepala suku besar di Papua seperti klaim itu.
Menurut Jack, Papua sendiri bukan hanya milik satu suku semata, melainkan di Tanah Papua ada banyak sekali suku. Bahkan dari setiap suku tersebut memiliki perangkat adat yang terstruktur dalam sistem kepemimpinan secara tradisional masing-masing. Beberapa diantaranya yang dikemukakan olehnya yakni, ada orang yang dinobatkan sebagai Ondofi, ada pula posisi kepala suku, kepala kerep hingga pesuruh-pesuruh yang semuanya sudah ada strukturnya.
Ia menjelaskan bahwa Dewan Adat di tanah Tabi, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, dan Kabupaten Sarmi, tidak pernah memberikan legitimasi kepada LE sebagai kepala suku di Papua, atau mengangkat Lukas Enembe sebagai kepala suku.
Lebih lanjut, misalnya memang ada suku lain, seperti di wilayah Lapago dan Meepago yang mengangkat LE sebagai kepala suku mereka, itu memang murni kewenangan dari masyarakat adat sana masing-masing dan sama sekali tidak berkaitan satu sama lain. Maka dari itu jika dikatakan seolah Mantan Bupati Puncak Jaya periode 2007-2012 itu membawahi seluruh tanah Papua, maka justru menurut Jack orang yang mengklaim tersebut harus segera memberikan klarifikasi.
Ketua Gerakan Pemuda Jayapura itu kembali mengimbau kepada seluruh pihak agar tidak mudah percaya dengan klaim satu pihak dari orag tertentu karena bisa jadi tujuannya adalah menggiring opini seolah-olah memang Papua sendiri memiliki satu kepala suku besar. Dirinya memiliki argumen bahwa bisa saja opini tersebut dengan sengaja dibangun agar masyarakat Papua dijadikan tameng untuk membentengi penegakan hukum kasus korupsi Enembe oleh KPK.
Jack juga menjelaskan bahwa masyarakat yang selama ini berjaga-jaga di sekitar kediaman LE adalah karena mereka masih memiliki hubungan emosional. Dirinya pun mengimbau supaya tidak ada lagi pihak yang menghalangi tugas KPK untuk segera bisa melakukan pemeriksaan, termasuk menghentikan klaim sepihak tersebut karena akan mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat yang mendiami wilayah tanah adat Tabi.
Terlihat terdapat dua pernyataan yang saling bertentangan, antara klaim kuasa hukum LE yang mengaku bahwa kliennya merupakan kepala adat besar di Papua, dengan pendapat Tokoh Pemuda Papua sendiri yang membantahnya dan menyatakan bahwa Gubernur Papua itu bukanlah kepala suku besar karena memang di Bumi Cenderawasih sendiri terdiri dari banyak suku dan sudah memiliki struktur masing-masing.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Jakarta