LE Pejabat Publik Wajib Taati Hukum

111
Aktivis Papua Desak Penegakan Hukum LE
Ilustrasi-Ist

Oleh : Alfred Jigibalom

Kasus dugaan korupsi yang membelit LE menjadi perhatian publik karena ia selalu mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai pejabat publik maka seharusnya ia tahu diri dan menaati proses hukum yang sudah berjalan.

Indonesia adalah negara hukum dan semua orang harus taat hukum, termasuk para pejabatnya. Hukum tidak hanya tajam ke bawah tapi juga ke atas. Dalam artian, walau ada pejabat tinggi yang terkena sebuah kasus, maka ia wajib menjalani proses hukum dan taat pada perintah yang berwajib. Termasuk LE, Gubernur Papua yang terkena kasus korupsi dan gratifikasi senilai triliunan rupiah.

Nama LE menjadi buah bibir, sayang sekali bukan karena prestasinya, melainkan karena kasusnya. Setelah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) maka ia selalu tidak hadir saat dipanggil. Masyarakat jadi geram karena LE tidak mau mengakui perbuatannya dan tidak mau taat hukum.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Profesor Suparji Ahmad, menyatakan bahwa sebagai warga negara dan penyelenggara negara, maka LE  harus taat hukum. Seharusnya ia bertindak kooperatif dan memenuhi panggilan KPK. Dalam artian, LE adalah pejabat dan seharusnya taat hukum, karena mengerti seperti apa hukum di Indonesia.

Jangan mentang-mentang seorang pejabat maka ia tidak mau menaati proses hukum dan mengabaikan panggilan KPK. Hukum di Indonesia sudah berlaku dengan tegas, tidak tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, alias hanya berlaku bagi rakyat kecil. Seorang pejabat pun, jika bersalah, wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan menaati proses hukum yang sedang berjalan.

Seharusnya sebagai gubernur maka ia memberikan teladan yang baik ke masyarakat Papua, untuk selalu menaati hukum di Indonesia. Namun ia malah memberi contoh negatif sehingga amat disayangkan. Rakyat Papua kecewa karena ternyata sifat asli LE seperti itu dan seakan-akan lari dari tanggung jawab.

Sementara itu, Tokoh Adat Papua Barnabas Nukuboy, menyatakan bahwa ia mendukung KPK agar memproses LE, agar jelas secara hukum. Ia juga yakin KPK memiliki bukti yang kuat bahwa LE diduga korupsi. Dalam artian, orang asli Papua juga geram karena LE tidak bertindak secara gentleman, justru menolak untuk berangkat ke Jakarta demi memenuhi panggilan KPK.

Jika LE tidak mau datang ke Gedung KPK, malah menimbulkan kecurigaan yang besar. Sudah tentu ia bersalah karena korupsi lalu ketakutan dan beralasan sakit, sehingga 2 kali absen saat dipanggil. Kalau ia memang tidak bersalah, buat apa mangkir dari panggilan KPK? Penyebabnya jika ia tidak pernah korupsi maka tidak gentar dan akan datang dengan kepala tegak.

Pengacara LE, Stefanus Roy Rening, selalu beralasan bahwa ia sedang stroke sehingga susah untuk berjalan dan berbicara. Padahal LE sempat menerima panggilan dari salah satu pejabat KPK. Sakit hanya alasan yang dibuat-buat agar LE menghindari panggilan KPK.

Sebagai orang yang mengerti hukum, seharusnya pengacara LE tidak membela dengan keterlaluan, melainkan mengarahkannya agar lebih taat hukum. Jika LE sudah datang ke KPK baru ia bisa memberi keterangan ini dan itu. Bukannya malah meminta agar LE diperbolehkan berobat ke luar negeri, dan pemerintah sudah mencekal agar ia tidak bisa kabur begitu saja.

KPK sudah menyelidiki kasus LE dan mengumpulkan bukti-bukti beserta para saksi, sejak tahun 2017. Ia tidak bisa mengelak, apalagi sudah beredar video yang diambil dari kamera CCTV, saat ia berjudi sambil ‘mencuci uang’ hasil korupsi di sebuah kasino di luar negeri.

Sementara itu, Anggota Majelis Rakyat Papua Herman Yoku, menyatakan bahwa LE harus taat hukum dan dengan jantan memenuhi panggilan KPK. Jika ia memang tidak bersalah, maka harus mengklarifikasi semua tuduhan yang mengarah padanya.

Namun LE tenang-tenang saja di Papua dan tidak mau terbang ke Jakarta. Hal ini membuat masyarakat di Bumi Cendrawasih geram, karena seharusnya sebagai pejabat tinggi ia taat hukum dan memberi contoh yang baik. LE telah mencoreng nama baik Papua dan warga merasa sangat malu punya gubernur seperti itu.

Jika LE sudah mangkir 2 kali dari panggilan KPK maka sesuai dengan aturan, akan ada penjemputan paksa. Akan ada pencokokan oleh KPK (tentu didampingi oleh pihak berwajib) dan ia harus mau jika diajak ke Gedung KPK.

Namun kenyataannya ada skenario baru dari LE. Setelah membayar para pendemo dengan uang 300.000 rupiah agar dibela, ia memerintahkan banyak orang untuk menutup akses jalan ke rumahnya  dengan material timbunan dan ekskavator. Hal ini ditemukan ketika Kapolsek Distrik Muara Tami Kompol Junan Plitomo melakukan razia di sekitar lingkungan tersebut.

Penutupan akses jalan sangat disayangkan oleh masyarakat Papua, karena sekali lagi LE terlihat ketakutan akan dicokok oleh KPK. Jika ia tidak korupsi, maka tidak akan melakukan hal-hal aneh seperti ini.

Seharusnya LE tertib dan memenuhi panggilan KPK, serta mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bukannya malah bersembunyi di rumahnya dan beralasan sedang stroke. Sebagai pejabat publik seharusnya ia mengerti hukum dan taat hukum.

Penulis adalah Mahasiswa Papua tinggal di Bali