Oleh : Doren Lokbere
KUHP Nasional memiliki tujuan positif untuk memperbaiki hukum pidana nasional dan juga telah menjunjung tinggi keberadaan HAM secara universal. Tema tersebut mengemuka dalam sosialisasi KUHP oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) di Manokwari, Papua Barat.
Dalam rangka mewujudkan hukum pidana nasional di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan kepada falsafah negara, yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah RI telah melakukan penetapan pada Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai wujud penyesuaian dengan politik hukum, keadaan dan juga perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) secara universal.
Diketahui bahwa UU Nomor 1 tahun 2023 tersebut akan benar-benar berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya, yakni pada tahun 2025 mendatang untuk menggantikan keberadaan dan keberlakuan KUHP lama buatan jaman kolonial Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri merupakan sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiel di Indonesia.
Bukan tanpa alasan pengesahan KUHP Nasional ini menjadi sangat penting untuk dilakukan, pasalnya memang akan mampu menggantikan keberadaan Wetboek van Strafrecht yang sudah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 silam tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah.
Secara keseluruhan, perbedaan yang mendasar antara WvS dan UU Nomor 1 Tahun 2023 adalah terletak pada filosofi yang mendasari bagaimana dibentuknya produk hukum Belanda tersebut, yang mana dilandasi oleh pemikiran aliran klasik yang berkembang pada Abd ke-18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada perbuatan atau Tindak Pidana. Sedangkan, dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 mendasarkan diri pada pemikiran yang menjaga keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan) dan faktor subjektif (orang).
Sementara itu, untuk mengisi adanya masa transisi selama 3 (tiga) tahun sebelum nantinya KUHP Nasional ini benar-benar akan berlaku secara resmi dan menyeluruh di Indonesia sebagai sebuah sistem hukum yang mengatur bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara di masyarakat, terdapat sejumlah sosialisasi yang terus digencarkan hingga ke seluruh pelosok negeri sampai ke Manokwari, Papua Barat yang dilakukan oleh Mahupiki bekerja sama dengan Universitas Papua.
Dalam kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan pada 8 Februari 2023 di Swiss BelHotel Manokwari, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Prof. Dr. Pujiyono, SH. M.Hum yang hadir menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan sosialisasi tersebut mengungkapkan bahwa pembaruan KUHP, pada hakikatnya bukan pembaharuan norma, tetapi pembaharuan sistem nilai, atau pembaruan ide dasar. Karena KUHP produk Belanda yang masih berlaku saat ini sebetulnya berdasarkan pada ide dasar individualis liberal yang bertentangan dengan konsep ide dasar kita yaitu monodualistik.
Bukan hanya itu, namun Prof. Dr. Pujiyono, juga menjelaskan bahwa KUHP baru juga merupakan perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh. Hal ini merupakan kesempatan untuk melahirkan sistem Hukum Pidana Nasional yang komprehensif berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa, serta Hak Asasi Manusia yang sifatnya universal. Selain itu KUHP baru ini adalah sebuah mahakarya dalam hukum pidana yang seluruh norma hukumnya bersumber dari Pancasila sebagai ideologi dan pedoman hidup berbangsa Indonesia.
Senada, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (UNPAD), Prof. Romli Atmasasmita yang hadir secara daring juga melihat bahwa tujuan pemidanaan yang terdapat KUHP Nasional jelas sekali bahwa penerapannya dibatasi oleh tiga paradigma, yakni keadilan retributif, rehabilitatif dan juga restoratif dan juga termasuk adaya paradigma perlindungan pada hak asasi manusia (HAM).
Bahkan menurutnya, penggantian sistem hukum menjadi KUHP Nasional juga merupakan amanah, TAP MPR II/MPR/1993 tentang GBHN, dan UU 17 tahun 2007 tentang RPJPN. Bahkan, KUHP nasional saat ini telah dibahas oleh setidaknya 13 Menteri Kehakiman/Menteri Hukum dan HAM terlibat dalam perumusannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyusunan atau perumusan KUHP nasional telah dilakukan sejak lama dengan melakukan serangkaian pertimbangan.
Pembicara lain yang merupakan Guru Besar Universitas Jember, Prof.Dr. M. Arief Amrullah menyatakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan DPR bersama Pemerintah mempunyai keunggulan dari KUHP sebelumnya. Keunggulan tersebut salah satunya tentang muatan keseimbangan.
Prof Arief menyatakan materi hukum pidana nasional mengatur keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, atau yang disebut dengan keseimbangan monodualistik. Artinya, selain memerhatikan segi objektif dari perbuatan, hukum pidana juga memerhatikan segi subjektif dari pelaku.
Sosialisasi memang menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan lantaran akan membuat publik secara luas menjadi jauh lebih memahami bagaimana substansi dan urgensi dari KUHP Nasional serta apa saja hal-hal baik yang terkandung di dalamnya dan menggantikan beberapa hal tidak relevan dari KUHP lama. Termasuk tujuan pemidanaan untuk memperbaiki dan sangat menjunjung HAM.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Semarang