Makna Sebuah Perjalanan Religi MUI Kota Binjai:

529
foto :istimewa
Foto: Di Museum buya HAMKA( itp/ ist)

Buya Hamka, Menapak Peninggalan Sang Ulama Besar

Ditulis oleh : RR Izka Rawi.

Binjai-Intipnews.com: Kota Bukittinggi menyimpan sejuta pesona alam dan panorama  alam yang tersembunyi serta menakjubkan untuk Anda dinikmati yang sedang berkunjung. Banyak sekali situs budaya yang bernilai sejarah. Nilai sejarah bernuansa religi menjadi tujuan MUI Kota Binjai berkunjung ke Sumatera Barat.Dari berbagai objek wisata yang cukup banyak di kota Bukittinggi, paling utama mendatangi museum Buya Hamka . Usai sholat jumat, kami mencari mobil carteran,sebab bus pariwisata sulit melintas di kelok 44. Perjalanan yang serius dan kadangkala mendebarkan di tingkungan tajam.

Alam yang indah,apalagi setelah melihat hamparan air dari Danau Maninjau membuat suasana cukup ria. Ditambah pengemudi mobil yang kami tumpangi cukup ramah dan sudah punya pengelaman melalui kelokan 44. Setiba di museum Buya Hamka langsung disambut penglolanya dengan memberikan penjelasan tentang barang yang ada didalam museum. Menurutnya pengunjung ke museum biasanya ramai, “ Selama pandemi covid-19 pengunjung sepi” ujarnya dan mengakui biasanya yang banyak datang dari Malaysia.  Buya Hamka, Menapak Peninggalan Sang Ulama Besar

Rumah bersejarah ini berada di tepian danau, tepatnya di Kampung Muaro Pauh, Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Agam. Perjalanan ke Danau Maninjau rasanya tidak lengkap tanpa menyambangi rumah kelahiran seorang ulama besar asal Minangkabau, Buya Hamka. Rumah bersejarah ini berada di tepian danau, tepatnya di Kampung Muaro Pauh, Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Agam.

Lokasi yang kini difungsikan sebagai museum ini menjadi tempat penyimpanan benda-benda peninggalan tokoh yang juga dikenal sebagai sastrawan, jurnalis, ahli tafsir, sekaligus seorang politisi . Di sini pengunjung bisa meresapi semangat perjuangan yang pernah digemakan sang ulama nasionalis ini semasa hidupnya.

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal luas dengan nama Buya Hamka lahir pada hari Senin, 17 Februari 1908. Anak tertua dari tujuh bersaudara ini lahir di tengah keluarga yang kuat memegang ajaran agama. Sang ayah, Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan panggilan Haji Rasul dikenal sebagai tokoh pembaharuan islam di kalangan masyarakat Minangkabau. Karakter keislaman yang kuat dalam keluarga besarnya ini menjadi fondasi awal kepribadian Hamka dalam kiprahnya kelak saat dewasa.

Sejak remaja, Hamka telah memiliki ketertarikan yang besar dengan dunia sastra dan organisasi pergerakan. Kegemarannya dalam membaca telah mengembangkan wawasannya hingga diluar batas pemikiran generasi remaja seusianya ketika itu.

Hal ini pula yang membuatnya membulatkan tekad untuk merantau ke Jawa saat berusia 16 tahun, pada sekitar tahun 1924. Di Yogyakarta dan Bandung, ia aktif di sejumlah organisasi pergerakan antara lain Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyempatkan berguru kepada tokoh-tokoh pergerakan diantaranya HOS Cokroaminoto.

Meski hanya setahun, apa yang ia peroleh selama merantau banyak berpengaruh besar terhadap perjalanan hidupnya. Pada masa setelahnya, Hamka banyak berkontribusi dalam dakwah dan pergerakan melalui kontribusi tulisan-tulisannya yang sebagian diantaranya berakhir dengan pelarangan karena dianggap membahayakan pemerintah Hindia Belanda.

Setelah era kemerdekaan hingga akhir hidupnya, Hamka tetap aktif menulis di berbagai media, baik buletin, majalah, buku, roman, hingga tafsir Al-Quran. Dari sekitar 118 judul buku yang pernah ia tulis semasa hidupnya, sekitar 28 judul dapat kita saksikan diantara koleksi buku di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka ini.

Selain karya-karya Hamka, di museum ini pengunjung juga dapat melihat berbagai benda peninggalan dan dokumentasi perjalanan hidup Hamka. Diantara koleksi-koleksi penting museum ini adalah lukisan serta foto Hamka semasa muda hingga dewasa dan sejumlah penghargaan yang pernah diperolehnya semasa hidup.

Ada pula sebuah foto yang menggambarkan lautan manusia yang ikut mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir pada tanggal 24 Juli 1981. Selain itu, terdapat pula koleksi seperti jubah kehormatan beserta toga yang digunakan Hamka saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Al-Azhar Cairo serta Universitas Kebangsaan Malaysia.

Untuk mencapai daerah ini, dari Bukittinggi pengunjung harus melewati kawasan Kelok 44 (Kelok Ampek Puluh Ampek). Setelah melewati kawasan tersebut, kita akan bertemu sebuah persimpangan, dimana arah ke kiri adalah menuju museum sedangkan ke kanan adalah ke Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam.

Jarak dari persimpangan menuju ke museum kurang lebih sekitar 7 kilometer melalui jalur yang berkelok-kelok. Sepanjang perjalanan, kita dapat menikmati keindahan Danau Maninjau yang tepat tersaji di sebelah kanan kita.

Didepan museum ada juga tersedia buku karya buya Hamka yang khusus dijual. Museum yang sangat sederhana, tetapi penuh makna. Dari suasana tempat tidur dengan kelambu, mesin ketik yang tidak terlalu kuno, sebab Saya pernah juga memakai mesin ketik manual itu pada tahun 70 an. Apa yang diperoleh dari kunjungan itu, diantaranya nilai perjuangan yang sangat idealis tetap terpatri dijiwanya sebagai ulama besar.

Sebagai seorang ulama besar yang dikenal dengan berbagai buku termasuk tafsir Al Azhar, dan buku novelnya yang populer tidak terlihat ada kemewahan dalam kehidupannya. Mungkin itu merupakan wujud dari kata bijak buya Hamka:  Tahan menderita kepahitan hidup sehingga penderitaan menjadi kekayaan adalah bahagia” Kemudian disebutkannya:”  Salah satu peng kerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas yang mendahulukan istirahat sebelum lelah”.

 Satu hati lebih mahal dari pada senyuman.Satu jiwa lebih berharga dari pada sebentuk cincin. Dan janagan pernah merobohkan tanpa mengetahui mengapa didirikan.Jangan pernah mengabaikan tuntutan kebaikan tanpa mengetahui keburukan yang kemudian anda dapat. Kata bijaknya yang mempunyai seribu makna membawa kita harus berpikir. Supaya  sengkau mendapat sahabat hendaklah diri engkau sendiri sanggup menyempurnakan menjadi sahabat orang.

Buya Hamka ternyata pernah tinggal di Medan dan banyak menulis artikel di berbagai media dan menjadi guru di Tebing Tinggi. Buaya Hamka membangun reputasinya sebagai jurnalis dan menjadi pengarang  cerita pendek dan novel. . Al Fatihah buat Buya Hamka, Karyamu masih tetap berlaku disepanjang masa.