Oleh : Saby Kossay
Kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Papua LE merupakan perbuatan tercela dan harus diusut tuntas karena merugikan rakyat Papua. Oleh sebab itu, masyarakat terutama warga Papua, harus menghormati proses hukum LE.
Gubernur Papua, LE, menjadi tersangka dugaan kasus korupsi dan gratifikasi senilai miliaran rupiah. Namun proses hukumnya tersendat-sendat karena ia menolak keras panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan tetap berdiam di rumahnya di Papua. Sesuai aturan, jika sudah mangkir 2 kali dari panggilan, maka akan dilakukan penjemputan paksa. Namun Lukas tetap ngotot tak mau datang dengan alasan stroke dan sakit jantung.
Kasus LE semakin lama selesainya karena ada sebagian warga Papua yang berjaga di depan rumah sang gubernur dan berusaha agar ia tidak dijemput KPK. Mirisnya, ada yang bersiaga sambil membawa senjata tradisional, seolah-olah mau mengajak perang. Padahal sebagai warga negara yang baik, mereka tidak boleh membela orang yang bersalah, termasuk sang gubernur Papua.
Seharusnya masyarakat Papua menghormati proses hukum LE dan membiarkan KPK bekerja. Apalagi kasusnya adalah korupsi dan yang diambil adalah uang rakyat. Jangan mencampuri yang bukan urusannya dan malah membela maling yang diam-diam telah mencuri uang mereka.
Theo Litaay, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), menyatakan bahwa seharusnya masyarakat Papua menghargai proses hukum yang sedang dihadapi oleh Gubernur Papua LE. Pemerintah ingin meningkatkan good governance diseluruh Indonesia. Tujuannya untuk meningkatkan pemerintah yang bersih dan berwibawa.
Dalam artian, jika ada pengaplikasian good governance, maka segala kesalahan di pemerintah daerah harus dihapuskan. Termasuk jika ada yang korupsi dan gratifikasi. Normalisasi kesalahan seperti korupsi adalah juga sebuah kesalahan, dan sejak era reformasi KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) wajib dibasmi karena merugikan pemerintah dan masyarakat.
Seharusnya masyarakat benar-benar menghormati proses hukum LE dan tidak marah karena gubernur idolanya dijadikan tersangka. Mereka juga tak boleh menuduh ada konspirasi politik dibalik rencana penjemputan LE. Penyebabnya karena kasus ini murni korupsi dan KPK sudah menyelidiki serta mengumpulkan barang bukti sejak tahun 2017.
Salah satu barang bukti yang ada dalam kasus LE adalah video CCTV ketika ia sedang berjudi di luar negeri. Dipastikan ia berjudi dengan uang hasil korupsi, apalagi juga ditemukan uang lebih dari 500 miliar rupiah di rekening kasino tersebut. Sedangkan rekening pribadi LE juga telah dibekukan dan isinya lebih dari 70 miliar rupiah.
LE memang seorang gubernur tetapi dimata hukum ia tetap orang biasa, jadi tidak bisa kebal hukum. Masyarakat Papua jangan terlalu membela LE karena ia memang bersalah. Mereka seharusnya melihat juga video saat LE asyik berjudi, seperti inikah kelakuan pemimpin yang mereka cintai? Sungguh mengecewakan. Masyarakat juga seharusnya memakai logika bahwa dengan gajinya, LE tak mungkin punya uang hingga miliaran rupiah.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan bahwa LE harus kooperatif. Ia mengingatkan kepada masyarakat dan semua pihak agar tidak menghalangi proses penyidikan pada kasus korupsi ini. Penyebabnya karena pada Pasal 21 UU Tipikor (tindak pidana korupsi), disebutkan bahwa mereka yang menghalangi penyidikan akan mendapat ancaman hukuman 12 tahun penjara.
Ancaman hukuman ini tidak main-main dan harus dipahami oleh masyarakat. Jangan sampai ketika ada penjemputan paksa oleh KPK dan pihak berwajib, warga Papua yang berjaga malah mengancam dengan panah dan senjata tradisional lain. KPK datang bukan untuk berperang, melainkan menegakkan hukum di Indonesia. Seharusnya masyarakat mengerti, karena jika tidak mereka akan terancam dibui juga.
Masyarakat Papua wajib menghormati proses hukum LE dan membiarkan KPK menginterogasi sampai tuntas. Sebagai tersangka, seharusnya LE didatangkan ke KPK. Bukannya malah dilindungi oleh rakyat dengan alasan kemanusiaan. Bukankah terbalik ketika seorang penjahat malah dilindungi habis-habisan? Mau jadi apa negeri ini jika seorang tersangka malah diproteksi dengan alasan sakit keras?
Ali Fikri juga mengingatkan ke tim kuasa hukum LE untuk tidak menghalangi penyidikan KPK. Dalam artian, mereka terlalu mengintervensi dan menyusahkan kinerja KPK. Tim kuasa hukum terus memprovokasi warga untuk membela LE. Tak heran banyak warga yang berjaga didepan rumah gubernur di Jayapura-Papua, bahkan sampai radius 200 meter.
Masyarakat, terutama warga Papua, seharusnya sadar bahwa LE sudah melakukan korupsi dan gratifikasi. Jangan justru dibela dan menghalangi kinerja KPK. Seharusnya mereka menghormati proses hukum dan membiarkan KPK melakukan penjemputan paksa ke Papua. LE sudah terbukti bersalah, oleh karena itu seharusnya ia dibiarkan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta