Oleh : Gema Iva Kirana
Pemilu 2024 sudah di depan mata dan semua pihak diminta untuk dapat menyukseskan pesta demokrasi tersebut. Tak hanya itu, masyarakat juga diminta untuk secara bersama-sama membangun Pemilu yang bermartabat demi menunjukkan kematangan demokrasi Indonesia.
Majunya suatu bangsa tidak semata-mata tergantung pada kemajuan fisik dan intelektualnya, melainkan juga memerlukan fondasi yang kuat dalam hal etika, moral, dan akhlak. Hal ini diakui oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, KH Haedar Nashir, yang menyatakan bahwa kehidupan bangsa dapat hancur jika moral, etika, dan akhlak diabaikan.
Dalam sebuah wawancara, Nashir menekankan urgensi membangun fondasi yang berlandaskan pada nilai agama, Pancasila, kebudayaan, dan konstitusi. KH Haedar Nashir, sebagai tokoh utama yang menyoroti fondasi moral, etika, dan akhlak, memahami bahwa keberhasilan suatu bangsa tidak hanya terletak pada kemajuan materi dan intelektual semata.
Dalam realitas kehidupan bangsa, risikonya sangat besar apabila nilai-nilai etika, moral, dan akhlak tidak diperhatikan. Implikasinya bisa berujung pada kerusakan yang tak terbayangkan karena sikap tanpa etika, moral, dan akhlak tersebut akhirnya melegitimasi penggunaan segala cara untuk mencapai tujuan. Pernyataan ini mencerminkan pemahaman yang mendalam akan kebutuhan untuk membangun karakter dan nilai-nilai positif di tengah masyarakat.
Nashir menekankan bahwa meskipun Indonesia telah membuat kemajuan signifikan di sektor ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi masih menghadapi ketertinggalan dalam menciptakan masyarakat yang berorientasi pada ilmu pengetahuan.
Dia menyatakan bahwa meskipun kita memiliki tingkat komunalisme dan aspek sosial yang tinggi, namun untuk mencapai tingkat masyarakat yang berlandaskan ilmu pengetahuan, kita masih berada jauh dari harapan yang diinginkan. Oleh karena itu, Nashir menyoroti peran kunci pendidikan dan upaya meningkatkan kualitas bacaan serta semangat berilmu di kalangan masyarakat, sebagai langkah yang sangat penting dan tak terhindarkan.
Dalam kerangka politik dan proses pemilihan umum, Nashir menekankan urgensi partisipasi masyarakat yang memiliki kecerdasan dan kritisitas. Ia memandang bahwa kontribusi dari semua ahli ilmu politik sangat diharapkan untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan tingkat kecerdasan politik di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Nashir, politik seharusnya menjadi wadah untuk memperadabkan bangsa, dan dalam konteks kontestasi pemilihan umum, peran masyarakat yang cerdas dan kritis dalam memilih calon menjadi sangat vital.
Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam yang aktif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, berkomitmen untuk terus membangun kehidupan kebangsaan yang berbasis pada nilai agama, Pancasila, kebudayaan, dan konstitusi.
Mereka menyadari bahwa Indonesia, yang berlandaskan Pancasila, memerlukan bangunan keadaban yang luhur. Dengan mengutamakan nilai-nilai tersebut, diharapkan bangsa ini dapat tetap kokoh dalam menghadapi dinamika politik dan perubahan zaman.
Nashir tidak hanya fokus pada peran nilai-nilai moral dalam mendirikan fondasi pemilu yang memiliki martabat, namun juga menggarisbawahi urgensi fair play dalam pertarungan politik. Dengan tegas, ia menyatakan bahwa dalam konteks pemilihan umum 2024, tidak hanya soal mencapai kemenangan semata, mengingat hukum kontestasi menetapkan bahwa ada pihak yang menang dan ada yang kalah.
Oleh karena itu, Nashir memaparkan betapa pentingnya meraih kemenangan dengan cara yang adil, etis, beradab, bahkan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.
Fadli Ramadhanil, Manajer Program Perludem, menyoroti signifikansi fair play dalam pelaksanaan pemilihan umum. Menurutnya, aparat pemerintah tidak hanya perlu secara berkala menyatakan netralitas di hadapan publik, tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana netralitas tersebut diterapkan secara konsisten dalam tindakan riil di lapangan.
Fadli menyampaikan pandangannya bahwa aparat pemerintah tidak harus sering mengumumkan netralitas mereka kepada publik, melainkan harus lebih fokus pada implementasi perilaku netral, yang tidak memihak dan tidak curang, dalam setiap tindakan dan aktivitas sehari-hari mereka.
Fadli juga memberikan tinjauan terhadap situasi Pemilu 2024 yang menghadirkan aspek positif dan negatif. Dari segi negatifnya, dia mencatat adanya manipulasi dalam kerangka hukum pemilu, yang membuka celah bagi partisipasi keluarga dan keturunan dalam proses pemilihan, suatu dinamika yang belum pernah terjadi dalam pemilu sebelumnya.
Meskipun demikian, di sisi positifnya, Pemilu 2024 menunjukkan bahwa 54 persen dari pemilih berada dalam rentang usia 40 tahun ke bawah, menandakan keterlibatan yang signifikan dari pemilih muda.
Dengan jumlah pemilih muda yang mencapai angka signifikan, Fadli mengekspresikan harapannya bahwa generasi tersebut memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan yang kritis dalam proses pemilu.
Dia berharap pemilih muda dapat mengembangkan tingkat kritisitas yang lebih tinggi melalui interaksi yang intensif dengan peserta pemilu, terutama dalam penggunaan dana kampanye. Keberlanjutan keterbukaan informasi yang dimiliki oleh pemilih muda diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam membentuk pemilu yang lebih transparan dan akuntabel.
Dalam merangkai fondasi pemilu 2024 yang bermartabat, Muhammadiyah dan Perludem menyampaikan pesan penting tentang peran moral, etika, dan keadaban dalam politik. Kedua narasumber menyoroti pentingnya fair play, netralitas, dan keterlibatan pemilih muda sebagai elemen kunci dalam proses pemilu yang demokratis.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan politik, etika dan moral tetap menjadi landasan utama untuk menciptakan kehidupan politik yang sehat dan beradab. Mari bersama-sama merangkai fondasi yang kokoh untuk mewujudkan pemilu 2024 yang bermartabat, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar nilai dan konstitusi yang menjadi landasan bangsa Indonesia.
Dengan membangun fondasi moral, etika, dan keadaban, kita dapat menjaga keberlanjutan bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik, di mana setiap proses politik mencerminkan nilai-nilai luhur yang menjadi identitas dan kekuatan bersama.
Penulis adalah kontributor Persada Institute