Mencegah Radikalisme di Kalangan Generasi Muda

81
foto :istimewa
Ilustrasi-Ist

Oleh : Bima Prakarsa

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh kelompok produktif yaitu anak muda yang masuk kategori generasi Milenial dan Z. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menaruh perhatian serius kepada generasi muda Indonesia agar tidak menjadi korban propaganda radikalisme dan terorisme karena para pemuda generasi Z dan milenial rentan terpapar paham radikal. Hal ini tentunya bisa menjadi bom waktu dikemudian hari, jika anak-anak muda ini terjerembab dalam ideologi radikalisme dan terorisme.

Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Polisi R. Ahmad Nurwakhid, pada acara Pelibatan Pemuda dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme dengan Pitutur Kebangsaan di Universitas Negeri Yogyakarta mengatakan generasi muda memiliki kontrol emosi yang masih labil dan menyukai tantangan baru, sementara wawasan kebangsaan dan pengetahuan keagamaan mereka belum matang. Generasi muda menjadi sasaran kelompok radikal karena mereka memiliki masa yang panjang untuk dipersiapkan sebagai kader dan untuk mendukung agenda utama mereka, yakni mengganti ideologi negara melalui kekuasaan.

Nurwakhid menyebutkan bahwa indeks potensi radikalisme di Indonesia tahun 2019 berada pada angka 38,4 persen, kemudian, turun menjadi 12,2 persen pada 2020 sampai 2021. Dari indeks tersebut, persentase anak muda generasi Z usia 14-19 tahun dan milenial usia 20-39 tahun mendominasi, yakni mencapai lebih dari 50 persen dimana mayoritas adalah perempuan. Beberapa tanda-tanda radikalisme di antaranya sikap anti Pancasila dan pemerintah yang sah, gemar mengafirkan orang lain termasuk mengafirkan negara dengan menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, adu domba, fitnah, hingga intoleran terhadap perbedaan.

Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Dr. Boy Rafli Amar, pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan jajaran pimpinan Universitas Brawijaya dan Universitas Muhammadiyah Malang menyatakan bahwa anak muda perlu diarahkan, diingatkan dan dibimbing agar tidak mudah menjadi bagian dari penyebarluasan paham-paham intoleransi dan radikalisme.

Generasi muda, khususnya mahasiswa, diharapkan mampu mengambil bagian dalam upaya kontra-ideologi, kontra-narasi, atau kontra-propaganda dari paham yang mengarah pada berkembangnya bibit intoleransi dan radikalisme yang berbahaya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia di dunia maya maupun dunia nyata.

BNPT melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang tersebar di 34 provinsi terus menggencarkan berbagai upaya pencegahan. Upaya pencegahan radikalisme di kalangan generasi muda perlu terus digencarkan karena hingga kini belum ada instrumen hukum untuk menindak penyebaran radikalisme kanan atau radikalisme agama.

Perwakilan FKPT Daerah Istimewa Yogyakarta, Fahmi Akbar Idris mengungkapkan bahwa mencegah paparan paham radikal di kalangan anak muda tidak mudah karena di dunia maya mereka memiliki akses luas untuk mendapatkan beragam informasi. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan terus menerus melakukan edukasi dan menanamkan nilai kebangsaan kepada mereka.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Hadi Sasana menyampaikan bahwa tidak boleh membiarkan masyarakat kampus terjerumus dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Guna mencegah radikalisme sebagai upaya deradikalisasi di kampus dimana aturan harus ditegakkan, jangan sampai melanggar norma atau aturan, apalagi mengibarkan bendera organisasi terlarang yang sudah jelas dilarang oleh pemerintah.

Selain aturan yang harus ditegakkan, juga rutin diberikan pendekatan secara etika dan moral dengan pendidikan agama dan kegiatan ekstrakurikuler yang mewadahi para mahasiswa. Hal ini diharapkan mampu meminimalisir hal-hal yang menyimpang karena mahasiswa rentan pada perkembangan atau situasi situasi tersebut.

Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Dr. Sugiyarto juga menyampaikan bahwa pencegahan radikalisme dapat dilakukan saat proses penerimaan mahasiswa menggunakan pendekatan formalitas kelembagaan dengan cara seleksi sehingga mahasiswa tidak memiliki paham membahayakan bagi yang bersangkutan maupun bagi lembaga dan negara dengan bantuan lembaga terkait.

Sugiyarto menambahkan bahwa peran kampus sangat kuat dalam memberikan perlakuan kepada mahasiswa mulai dari pemilihan mata kuliah dimana terdapat penilaian sikap, keterampilan dan pengetahuan. Sikap ini bisa saja dipakai sebagai salah satu indikator apakah mahasiswa tersebut masuk ke dalam paham radikal atau tidak. Indikator tersebut sebagai dasar penilaian dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Selain itu kampus wajib menyiapkan mekanisme yang sangat kuat, mulai dari pencegahan terjadinya radikalisme hingga penanganan dengan menggunakan sanksi yang paling ringan hingga berat yang diserahkan kepada proses hukum. Pengendalian kegiatan yang mengarah ke radikalisme di kampus tidak hanya dibebankan kepada semua dosen, tetapi juga oleh unit pengendali khusus yang memiliki tugas untuk mendeteksi dan memberikan saran mitigasi sehingga kegiatan tersebut tidak mudah terjadi.

Radikalisme di kalangan generasi muda masih menjadi pekerjaan rumah di kalangan kampus maupun masyarakat Indonesia dimana pencegahannya menjadi tanggung jawab bersama, salah satunya melalui penanaman karakter cinta Tanah Air. Misalnya dengan kegiatan budaya maupun melalui Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang memiliki branding anti radikalisme. Peran strategis milenial dalam menangkal radikalisme lainnya yakni dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan anti radikalisme salah satunya melalui media sosial.

Penulis adalah Pengamat Terorisme dari Universitas Indonesia