Oleh : Rahmat Gunawan
Penguatan ideologi asli Indonesia, yakni Pancasila harus terus didukung oleh semua pihak lantaran akan mampu menangkal potensi adanya penyebaran paham radikal dan aksi dari kelompok teror.
Dengan peningkatan dan kemajuan yang dialami oleh teknologi informasi digital, hal tersebut membuat media sosial menjadi jauh lebih rentan terhadap penyebaran intoleransi, radikalisme dan juga terorisme yang terus digaungkan oleh para propagandis kelompok radikal tersebut.
Bahkan penyebaran yang diupayakan oleh mereka seringkali juga tidak disadari oleh para generasi milenial lantaran sangat lihai dibungkus oleh bahasa-bahasa agama, sehingga membuat mereka jauh lebih mudah untuk bisa melakukan perekrutan anggota baru secara online. Perbedaan yang sangat jelas terjadi adalah melihat perkembangan yang dialami oleh kelompok Al-Qaeda jika dibandingkan dengan ISIS.
Pasalnya sejauh ini diketahui bahwa memang perkembangan yang dialami oleh Al-Qaeda cenderung lebih lambat karena pola perekrutan yang mereka lakukan masih menggunakan cara yang sangat konvensional, yakni mensyaratkan harus terjadi tatap muka. Sedangkan untuk perkembangan dari kelompok ISIS sendiri, mereka mengalami peningkatan yang sungguh masif dan juga cepat bahkan hingga mampu menyasar ke berbagai negara.
ISIS sendiri mampu mengumpulkan banyak sekali simpatisan dari semua kalangan, semua jenis kelamin dan juga usia termasuk mereka para generasi milenial dan juga generasi Z karena mereka lebih memiliki persentase untuk mengakses media sosial dan lebih melek akan kemajuan teknologi informasi digital sehingga justru akan terus menjadi sasaran empuk bagi penyebarluasan kelompok radikal itu.
Belakangan juga terus beredar kabar bahwa bagaimana para remaja tersebut bahkan rela sampai dirinya harus terbang jauh-jauh untuk pergi ke Suriah atau Irak hanya untuk bisa bergabung secara resmi dengan ISIS. Setelah ditelisik, ternyata mereka banyak sekali mengenal pertama kali organisasi radikal tersebut dari media sosial di internet.
Bagaimana suburnya penyebaran paham radikalisme yang kemudian bermuara pada sikap intoleransi dan tindakan terorisme tersebut mampu diibaratkan sebagai sebuah ‘virus’. Pasalnya memang awal mula terjadinya tindakan terorisme, yang menjadi embrionya adalah merupakan paham radikalisme dan juga intoleransi.
Ironisnya mereka sama sekali tidak ingin disebut dengan seorang teroris, namun mereka seolah menasbihkan diri menjadi ‘mujahidin’ dan terus saja berusaha melakukan manipulasi dengan menggunakan istilah-istilah keagamaan dan membingkai ajaran mereka seolah dengan bingkai agama.
Dengan segala kenyataan tersebut, lantas membuat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar menyampaikan amanatnya bahwa memang penyebaran ideologi radikal yang diusung oleh para kelompok ekstrimis dengan memanfaatkan teknologi digital dan media sosial seperti layaknya virus karena kemampuan penyebarannya yang begitu cepat.
Maka dari itu pihak BNPT sendiri langsung berupaya untuk menggandeng berbagai pihak seperti organisasi keagamaan, tokoh agama hingga perguruan tinggi untuk bisa menghadapi tantangan ‘virus’ tersebut. Karena memang perang untuk bisa menghadapi virus itu sama sekali tidak akan bisa dilakukan jika BNPT atau Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88), maka dari itu sudah menjadi tanggung jawab dari semua pihak.
Diketahui bahwa BNPT menjalin kolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk melakukan Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional dan juga sekaligus menggelar rapat koordinasi nasional antara Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme dengan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat. Pada saat yang sama juga digelar Dialog Kebangsaan yang dihadiri oleh banyak tokoh.
Sebagai informasi, Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional memang upaya untuk menjalankan amanah dari Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018, yang mana secara garis besar memang sudah menjadi kewajiban bagi Pemerintah untuk terus bisa memberantas tindak pidana terorisme. Dalam Kesiapsiagaan Nasional, pihak Pemerintah memang akan berusaha menggunakan strategi pencegahan terorisme dengan menggunakan banyak bantuan dari seluruh kelompok dan organisasi masyarakat untuk turut berperan aktif.
Lebih lanjut, Boy Rafli Amar juga menegaskan bahwa target utama yang akan terus dipantau adalah para generasi muda. Menurutnya, mereka adala kelompok generasi yang sangatlah mudah untuk terpapar ‘virus’ radikalisme. Data menunjukkan terdapat sekitar 202 juta penduduk Indonesia atau sekitar 80 persen yang memiliki akun media sosial, dengan sekitar 60 persen diantaranya adalah para generasi muda sehingga mereka sangat rentan terpapar hasutan kelompok radikal melalui internet.
Dengan penyebaran informasi dalam internet tersebut membuat ideologi dan identitas diri Bangsa Indonesia, yakni Pancasila menjadi sangat terancam akibat adanya transnasional ideologi. Hal tersebut memang merupakan salah satu konsekuensi dalam pergaulan global yang memang di dalamnya sarat akan berbagai kepentingan internasional, nasional serta domestik.
Derasnya arus globalisasi tersebut membuat generasi muda menjadi sangat mudah terpengaruh dan juga berpaling dari ideologi luhur Bangsa sendiri, yangmana sangatlah membenci praktik kekerasan.
Beberapa cara bisa terus diupayakan untuk bisa menghadapi terjangan dan ancaman propagandis kelompok radikal tersebut, yakni dengan melakukan penguatan literasi hingga meningkatkan kesadaran dan pelibatan masyarakat dalam memperkokoh ketahanan nasional dalam berbagai aspek seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan juga keamanan.
Seluruh ancaman yang terjadi serta bagaimana cepatnya ‘virus’ penyebaran gagasan radikal ke kalangan generasi muda membuat ‘vaksin’ BNPT untuk bisa melawannya patut diberikan dukungan secara total lantaran memang hal ini sudah sepatutnya menjadi perhatian seluruh pihak. Maka dari itu seluruh pihak tersebut harus bertau padu untuk mendukung penguatan Pancasila.
Penulis adalah kontributor Bunda Mulia Institute