Oleh : Saby Kossay
Pembagian anti korupsi mendeklarasikan dukungannya supaya segera ada tindakan tegas pada penegakan hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh LE. Meski pihak kuasa hukumnya mengklaim sudah ada pengangkatan Kepala Suku Besar di Papua, namun hal tersebut sama sekali tidak berpengaruh.
Berawal dari adanya temuan dan kecurigaan mengenai aliran dana mencurigakan dengan jumlah yang cukup besar dengan nama Gubernur Papua, LE. Kemudian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menjumpai hal tersebut langsung melimpahkan apa yang mereka temukan kepada pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sontak, oleh KPK sendiri limpahan dugaan korupsi yang dilakukan oleh LE ditelurusi lebih lanjut dan dilakukan pendalaman kasus. Ternyata setelah didalami, memang kecurigaan tersebut semakin bertambah karena terdapat dugaan gratifikasi yang berhasil mereka temukan dengan nilai Rp 1 miliar dilakukan oleh Gubernur Papua itu mengenai pengadaan proyek Pemerintah Provinsi Papua.
Tidak hanya sampai di sana, namun aliran uang senilai Rp 560 miliar dengan nama LE juga diduga bahkan sempat menjadi sebuah setoran tunai yang dialirkan ke kasino judi. Dugaan-dugaan lain pun turut menyertai tindakan yang dilakukan olehnya, termasuk mengenai pengelolaan dana operasional pimpian, dana pengelolaan PON hingga dugaan pencucian uang. Terdapat pula pemblokiran rekening yang diduga masih berkaitan dengan dugaan kasus korupsi LE dengan besaran saldo di dalamnya sekitar Rp 71 milar yang dilakukan oleh PPATK. Selain itu, KPK juga melakukan pemblokiran pada rekening milik istri LE.
Sementara itu, bahkan sampai saat ini pihak KPK sendiri masih belum berhasil untuk melakukan pemeriksaan kepada pria kelahiran 1967 tersebut. Bukan karena tidak dipanggil, namun pihak kuasa hukumnya terus saja mengajukan berbagai macam permintaan mengenai proses pemeriksaan. Sebelumnya, lembaga antirasuah KPK bahkan sudah sebanyak dua kali melakukan panggilan kepada LE yang memang sudah berstatus menjadi seorang tersangka.
Akan tetapi pada panggilan pertama yang dilakukan sejak tanggal 12 September 2022 lalu, dirinya terpaksa tidak bisa hadir karena alasan sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan lantaran sakit. Alhasil, KPK melakukan panggilan untuk kedua kalinya pada 25 September 2022, namun Gubernur Papua itu dikatakan masih dalam kondisi kesehatan yang belum memungkinkan sehingga kembali tidak hadir.
Karena alasan sakit tersebut, bahkan pihak pengacara LE mengajukan permintaan supaya kliennya bisa menjalani pengobatan sampai ke luar negeri. Meski sudah mengajukan, tentunya pihak KPK kemudian meminta kepada Direktorat Jenderal Imigrasi agar bisa melakukan pencegahan supaya dia tidak pergi ke luar negeri.
Alih-alih segera memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa, salah satu kuasa hukum LE, Aloysius Renwarin justru mengutarakan supaya kliennya bisa diperiksa di lapangan. Sebab menurutnya hal tersebut merupakan permintaan dari masyarakat adat Papua karena sebagaimana klaim kuasa hukum itu, sejak 8 Oktober 2022 LE telah dinobatkan sebagai kepada sulu besar oleh dewan adat Papua yang terdiri atas 7 suku.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menegaskan bahwa pengusutan kasus korupsi sama sekali tidak bisa dilakukan dengan menggunakan hukum adat. Lebih lanjut, dirinya juga mengatakan bahwa dugaan kasus korupsi yang dilakukan LE sama sekali idak ada kaitannya dengan pengangkatan dia sebagai kepala suku besar. Pasalnya hukum adat dan sidang adat hanyalah berlaku untuk perkara pidana umum KUHP, sedangkan sama sekali bukan untuk kasus korupsi.
Sebenarnya kasus korupsi sendiri pernah diusut dengan menggunakan hukum adat. Namun, karena hal tersebut memang masih berkaitan dengan kerugian yang memang dialami oleh lembaga adat yang bersangkutan. Sedangkan untuk kasus dugaan korupsi yang menjerat nama LE, sama sekali berbeda dengan hal itu karena justru kaitannya dengan jabatan Gubernur sehingga memang sama sekali tidak bisa diterapkan hukum adat.
Lebih lanjut, Boyamin sendiri menjelaskan bahwa KPK sudah memiliki prosedur yang sudah sesuai dengan Undang-Undang terkait penyidikan, termasuk juga mengenai lokasi pemeriksaan yang akan dilakukan. Sehingga sama sekali tidak mungkin bisa LE diperiksa di lapangan sebagaimana permintaan kuasa hukumnya.
Meski begitu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia itu tetap menghormati apapun perkataan dari LE maupun pihak kuasa hukumnya. Namun tetap saja jika berkaitan dengan sisi hukum, KPK sejatinya sudah memiliki SOP mereka sendiri, yang mana pemeriksaan saksi dan juga tersangka dalam proses penyidikan memang sudah seyogyanya dilakukan langsung di kantor penyidik atau tempat lain yang sudah ditentukan oleh pihak penyidik.
Jelas sekali bahwa meski pihak kuasa hukum LE mengklaim kliennya sudah dinobatkan sebagai kepala suku besar di Papua, namun hal itu sama sekali tidak bisa menghalangi segala proses penyidikan. Bahkan sebenarnya pihak KPK sendiri juga bisa saja melakukan penjemputan paksa. Maka dari itu pegiat anti korupsi terus mendukung seluruh tindakan tegas yang dilakukan dalam rangka pengusutan tuntas semua kasus hukum LE.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta