Oleh : Rebeca Marian
Sosok Kepala Suku tentu saja harus menjadi panutan serta teladan bagi para anggota suku, lantas bagaimana jika seorang kepala suku justru tersandung praktik rasuah hingga mendapatkan surat panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
LE, Gubernur Papua yang sempat memutarkan uangnya di casino, rupanya mendapatkan sorotan kembali saat LE diangkat menjadi Kepala Suku Besar.
Papua sendiri memiliki berbagai macam suku dan tidak bisa langsung mengangkat bahwa LE sebagai Kepala Suku Besar.
Pengangkatan LE disayangkan oleh Ondofolo Sosiri Sentani Boas Assa Enoch. Menurutnya pengangkatan LE menjadi kepala suku adalah hal yang sama saja melecehkan martabat Papua. Boas menambahkan bahwa , LE tidak bisa dijadikan sebagai kepala Suku Besar lantaran salah satunya karena tidak ada garis silsilah keturunan kepala suku yang jelas.
Boas juga menyayangkan, di mana LE tidak bersikap kooperatif terhadap KPK yang hendak melakukan penyidikan.
Diketahui, LE merupakan tersangka dugaan suap dan gratifikasi APBD Provinsi Papua. Pemanggilan pertama dari KPK, dimentahkan olehnya. KPK lantas bergegas melakukan pemanggilan yang kedua.
Ali Fikri selaku Kabag Pemberitaan KPK mengatakan bahwa pihaknya berharap agar LE kooperatif untuk memenuhi panggilan kedua nanti. Sementara, LE mengaku bahwa dirinya masih menjalani perawatan dan tidak dapat beraktivitas seperti biasanya.
Sebelumnya, tokoh pemuda Papua Martinus Kasuay juga mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Gubernur LE.
Martinus menuturkan, sudah sewajarnya siapapun yang bersalah harus diberikan sanksi hukuman pidana, sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
Sekretaris Barisan Merah Putih tersebut juga menyatakan bahwa kasus korupsi yang menjerat Gubernur Papua LE merupakan kasus pribadi yang tidak ada kaitannya dengan politisasi atau kriminalisasi. Kasusnya adalah murni karena terkait dengan hukum.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya berharap agar LE kooperatif untuk memenuhi panggilan kedua nanti. Sementara, LE mengaku masih menjalani perawatan dan tidak bisa beraktivitas seperti orang sehat pada umumnya.
Desakan penangkapan terhadap LE juga dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai bahwa proses hukum terhadap LE yang dilakukan oleh KPK terlalu berlarut-larut. ICW juga meminta kepada KPK untuk bertindak cepat.
Di sisi lain, ICW juga menyarankan kepada KPK untuk berkoordinasi dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk memeriksa kesehatan Gubernur Papua tersebut. Hal tersebut dirasa penting agar dapat mengetahui apakah LE benar-benar harus mendapatkan perawatan atau tidak.
Desakan juga datang dari MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) yang meminta kepada KPK untuk menjemput paksa Gubernur Papua LE karena dua kali tidak menghadiri panggilan pemeriksaan dengan alasan sakit. MAKI menilai bahwa KPK harus berani menjemput LE.
Sementara itu, Zaenur Rohman selaku Peneliti Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) meminta KPK untuk tegas dalam menangani perkara terkait dengan LE, Zaenur meminta agar KPK menjemput paksa Enembe apabila tidak memenuhi panggilan yang telah ditujukan.
Selain itu, Zaenur juga menyarankan agar KPK dapat menggunakan pendekatan sosial dengan menggandeng tokoh setempat. KPK harus memberi paham kepada para pembela LE bahwa ini merupakan murni proses hukum.
Pada kesempatan berbeda, Apbsalom Yarisetouw selaku Ketua Generasi Garuda Sakti Indonesia Provinsi Papua meminta kepada aparat penegak hukum untuk tegas terhadap LE yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Dirinya menuturkan, Jika LE tidak bersikap kooperatif, LE harus dijemput paksa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
LE selaku pemimpin sudah semestinya berani berkorban untuk masyarakat, bukan lantas bersembunyi di belakang rakyat. Pengangkatan LE menjadi kepala suku besar rupanya tidak menyurutkan dukungan masyarakat terhadap KPK untuk dapat menyelesaikan kasus yang menjerat LE sebaik mungkin.
Dalam kesehariannya, masyarakat Papua Berlaku tiga jenis aturan, yaitu aturan negara atau pemerintah, aturan adat dan aturan gereja. Kesalahan yang dituduhkan kepada Gubernur Papua saat ini merupakan kesalahan menurut negara, sehingga harus diadili dengan hukum negara yang diwakili oleh KPK. Sehingga tidak pantas sekiranya LE melibatkan masyarakat adat untuk menjaga dirinya dari panggilan KPK.
Pada kesempatan berbeda, Firli Bahuri selaku ketua KPK telah berkomitmen untuk melakukan komunikasi dengan LE termasuk pengacara LE. Firli menyebut bahwa KPK belum akan melakukan upaya paksa terhadap LE karena bagaimanapun juga KPK masih menghormati HAM. Dirinya juga menuturkan bahwa masalah ini akan selesai apabila LE bersedia memenuhi panggilan KPK.
KPK telah menetapkan Gubernur Papua LE sebagai tersangka kasus dugaan suap, tentu saja tidak tepat jika dirinya diangkat menjadi kepala suku di Papua, bagaimanapun juga masih banyak tokoh yang lebih kompeten daripada tokoh yang justru mangkir dari panggilan KPK.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Jakarta