Oleh : Adityo Utomo
Penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi menjadi langkah yang paling tepat diambil oleh Pemerintah sebagai upaya menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari penggunaan yang kurang efisien sehingga ketahanan fiskal negara pun tetap terjaga.
Dunia bahkan sudah mengakui bahwa Indonesia memang merupakan salah satu negara dengan penanganan dan pengendalian pandemi Covid-19 terbaik karena mampu terus mempertahankan pelandaian kurva penyebaran kasus baru meski virus tersebut terus bermutasi dan muncul varian baru. Salah satu bukti nyata adalah mulai dibukanya mobilitas masyarakat dan kegiatan industri dengan tujuan segera kembali memulihkan perekonomian Nasional.
Namun dengan adanya mobilitas masyarakat yang semakin tinggi tersebut, perlahan permintaan atau konsumsi akan Bahan Bakar Minyak (BBM) juga terus mengalami peningkatan. Diplomat, Prof. Imron Cotan menyatakan dengan terus meningkatnya konsumsi BBM yang dimiliki oleh masyarakat yang tidak diimbangi adanya produksi atau ketersediaan kuota BBM mencukupi maka akan mengakibatkan supply minyak dunia terganggu.
Lebih lanjut, pria yang juga menjadi Pemerhati Isu-Isu Strategis tersebut mengungkapkan bahwa Pemerintah harus bisa merumuskan kebijakan yang tepat untuk menangani situasi ini. Akan tetapi, permasalahan lain terjadi, apabila Pemerintah terus berusaha menjaga ketersediaan BBM, akan sangat membebani dan mengganggu APBN.
Padahal menurutnya, APBN sendiri merupakan sebuah instrumen yang sangat penting demi mewujudkan Indonesia dalam pemulihan perekonomian Nasional pascapandemi Covid-19. Hal tersebut, tentunya tidak akan bisa jika ketersediaan anggaran negara hanya difokuskan pada pemberian subsidi BBM saja sehingga memang harus benar-benar ada pembagian yang tepat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Next Policy, Dr. Fithra Faisal Hastiadi berpendapat bahwa memang penyesuaian harga BBM subsidi merupakan salah satu opsi terbaik dan paling realistis yang saat ini bisa dilakukan oleh Pemerintah. Pasalnya, apabila kebijakan tersebut tidak segera dilaksanakan maka dalam kalkulasinya, kuota BBM hanya akan bisa bertahan hingga bulan Oktober 2022 saja.
Terlebih, selama ini ditemukan pula indikasi tidak tepatnya subsidi BBM yang sudah diberikan oleh Pemerintah karena justru anggaran subsidi yang telah digelontorkan tersebut malah 80 persen dinikmati oleh masyarakat mampu sehingga jelas sekali hal itu menimbulkan ketidakadilan.
Bukan hanya itu, Dr. Fithra Faisal juga menyarankan supaya anggaran subsidi BBM tidak terus membebani negara, maka akan jauh lebih bermanfaat apabila bisa dialihkan untuk membantu masyarakat yang benar-benar membutuhkan saja, bisa pula digunakan untuk pembangunan infrastruktur, investasi ke pendidikan hingga melakukan project prioritas yang lain.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) tersebut juga menerangkan bahwa kekhawatiran selama ini mengenai bagaimana penyesuaian harga BBM subsidi dilakukan akan berdampak pada peningkatan inflasi di Tanah Air. Baginya, inflasi hanya akan meningkat tipis yakni sekitar 1 hingga 2 persen saja, yang mana hal tersebut sebenarnya sudah sangat cukup teratasi ketika pihak Bank Indonesia memberlakukan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan.
Di sisi lain, harga keekonomian dari bahan bakar berjenis Pertalite sendiri sekarang sudah berada pada sekitar Rp 14 ribuan, kemudian untuk harga dari Solar sudah berada di angka Rp 18 ribuan. Bahkan jika dibandingkan dengan bagaimana kondisi harga BBM yang terdistribusi di Eropa sudah menyentuh sekitar Rp 30 ribuan. Untuk Indonesia sendiri menjadi salah satu negara dengan harga BBM murah, namun disparitas harga tersebut akhirnya harus terus dibebankan pada APBN.
Menurut Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan keadaan itu semakin diperparah, lantaran posisi Indonesia sejak tahun 2008 silam sudah menjadi negara importir murni dari komoditas minyak karena memang kapasitas produksi dan konsumsinya sangat berbanding jauh.
Maka dari itu, menurutnya, bukan hanya sekedar penyesuaian harga BBM subsidi saja yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah, namun di sisi lain juga harus dilakukan pula pembatasan subsidi. Kombinasi antara kedua hal itu baginya adalah opsi terbaik karena apabila Pemerintah tidak memberlakukan pembatasan subsidi, maka risiko jebolnya kuota BBM akan kembali terjadi. Namun jika kedua kebijakan mampu dikombinasikan, maka penyesuaian harga akan menjadi sangat efektif dan akan tercipta ruang fiskal bagi APBN.
Terkait penjagaan ketahanan fiskal negara, Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Kuncoro menjelaskan bahwa memang hal tersebut sangatlah penting. Bagaimana tidak, pasalnya dengan ketahanan fiskal yang tetap kuat, maka akan sangat membantu dalam menunjang kapasitas produksi Indonesia di masa depan sehingga penyaluran bantalan sosial ketika penyesuaian harga BBM dilakukan juga harus diperhatikan.
Dengan kondisi APBN yang sangat tertekan akibat adanya subsidi BBM yang justru di lapangan kurang tepat sasaran tersebut, maka tak heran banyak pengamat dan ahli menyatakan bahwa memang Pemerintah saat ini harus benar-benar bisa berfokus dalam pengelolaan APBN tersebut menjadi seefisien mungkin, yang mana dampaknya nanti juga akan sangat positif terhadap ketahanan fiskal negara. Langkah paling tepat memang dengan melakukan penyesuaian harga BBM.
Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa institute