Oleh: Deka Prawira
Penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi yang akan dilakukan oleh Pemerintah dinilai oleh para pakar ekonom merupakan sebuah strategi terbaik untuk bisa mengatasi permasalahan berupa kuota BBM yang semakin menipis dan terbatas di samping konsumsi masyarakat yang terus meninggi.
Ternyata Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki konsumsi BBM sangat tinggi. Bahkan karena tingginya konsumsi tersebut, hingga membuat kuota BBM berjenis Pertalite dan Solar bersubsidi semakin menipis. Data menunjukkan bahwa Pertalite sampai pada bulan Juli tahun 2022 saja sudah dikonsumsi hingga mencapai 15,9 juta kilo liter (KL) atau sekitar 69 persen dari kuota yang sudah ditetapkan pada satu tahun penuh, dengan besaran 23 juta KL.
Kemudian untuk konsumsi Solar subsidi sendiri, menurut data dari PT Pertamina (Persero) hingga bulan Juni 2022 sudah mencapai angka 8,3 juta kilo liter (KL), padahal kuota tahunannya pada 2022 ini hanya sebesar 14,91 juta KL. Dari data tersebut maka bisa dikatakan bahwa sisa kuota dari Solar subsidi sendiri tinggal 6,6 juta KL.
Kedua data yang dirilis oleh PT Pertamina di atas menunjukkan bagaimana Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi BBM cukup banyak, tidak bisa dipungkiri pula karena memang jumlah kendaraan pribadi yang dimiliki masyarakat semakin banyak, apalagi banyak ditemui kecenderungan masyarakat yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian. Hal tersebut juga menunjukkan kalau mobilitas masyarakat di tanah air perlahan sudah mulai kembali seperti semua semenjak pandemi COVID-19 dua tahun silam, sekaligus membuktikan bagaimana keberhasilan Pemerintah dalam penanganan dan pengendalian pandemi.
Namun justru dengan tingkat konsumsi yang begitu tinggi, maka membuat Kepala Ekonom Bang Pertama, Josua Pardede menyatakan bahwa kuota Pertalite yang sudah bisa dikatakan cukup menipis tersebut akan berpotensi untuk menimbulkan kelangkaan BBM, khususnya Pertalite beberapa waktu mendatang. Meski begitu, di sisi lain, menurutnya sama sekali tidak efektif apabila hendak menekan daya konsumsi Pertalite jika menggunakan skema sistem kuota tersebut karena terdapat risiko adanya kelangkaan tadi, termasuk juga masih ada potensi kebocoran yang besar.
Josua Pardede menambahkan bahwa sejauh ini upaya yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) dengan menerapkan aplikasi digital MyPertamina sebelum melakukan pembelian Pertalite dan Solar memang menjadi salah satu langkah yang tepat untuk bisa menseleksi siapa saja yang memang berhak untuk mendapatkan BBM bersubsidi.
Menurutnya, akselerasi penerapan aplikasi bagi masyarakat dapat mengatasi hal ini, karena aplikasi dapat secara tepat mengatur jumlah konsumsi bagi masing-masing konsumen. Skema pembelian dengan menggunakan aplikasi digital tersebut jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan menerapkan skema kuota lantaran jika menerapkan kuota, maka justru subsidi yang diberikan oleh Pemerintah tidak akan menjadi tepat sasaran sehingga masih banyak masyarakat kelas menengah ke atas yang justru memenfaatkan BBM bersubsidi tersebut karena mereka cenderung memiliki daya beli yang lebih besar ketimbang masyarakat kelas menengah ke bawah.
Oleh karena itu, pakar ekonom menilai, rencana penyesuaian harga BBM subsidi bisa menjadi jalan keluar bagi pemerintah dalam merespon persoalan kuota BBM subsidi yang kian menipis. Di sisi lain, penambahan kuota BBM subsidi juga belum mendapatkan lampu hijau karena dapat memberikan tekanan yang lebih berat terhadap APBN.
Sehingga bukan hanya sekedar diatur masyarakat mana yang layak untuk bisa mengakses BBM bersubsidi dengan menggunakan aplikasi digital MyPertamina, namun menurutnya juga akan sangat masuk akal apabila Pemerintah mampu menaikkan harga BBM bersubsidi dengan harga yang masih ideal dan juga bergantung pada bagaimana kemampuan anggaran Pemerintah supaya masyarakat tidak terlalu kesulitan mengakses BBM, di sisi lain subsidi bisa lebih maksimal diberikan kepada mereka yang membutuhkan dan APBN juga tidak terlalu terbebani.
Penilaian ini didasarkan dengan kondisi konsumsi Pertalite dan Solar bersubsidi sudah berada di atas proyeksi sebelumnya, sehingga kuota diperkirakan habis di Oktober-November sehingga pemerintah harus melakukan langkah strategis untuk mengantisipasi hal tersebut. Perlu diketahui bahwa harga keekonomian Pertalite sekitar Rp17.000 per liter, oleh sebab itu kenaikan harga sekitar 30% menjadi Rp10.000/liter masih tetap di bawah harga keekonomian-nya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro juga menyampaikan hal yang sama, bahwa memang penyesuaian harga yang dilakukan oleh Pemerintah merupakan hal yang paling ideal dan moderat.
Dengan adanya kuota dari BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar yang sudah semakin menipis, maka memang penyesuaian harga BBM merupakan strategi terbaik yang bisa dilakukan oleh Pemerintah saat ini untuk mengatasi keterbatasan stok kuota tersebut.
Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute