Perjanjian Jatisari 15 Februari 1755

255
Teks foto: Kraton Jogja(kc/ itp/ist)

Awal Mula Beda Budaya Surakarta dan Yogyakarta

Jogjakarta – Intipnews.com :  Perjanjian Jatisari 15 Februari 1755 menjadi peletak dasar kebudayaan Surakarta dan Yogyakarta.  Pertemuan Jatisari di Jatisari, Desa Sapen, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, 267 tahun lalu, mempertemukan Paku Buwono III dengan sang paman Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I.

 Pertemuan keduanya tak bisa dilepaskan dengan perjanjian dua hari sebelumnya yaitu Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang membelah Mataram menjadi dua kerajaan yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta).  Dikutip dari buku Vincent Houben yang berjudul Kraton and Kumpeni (1994), dalam Perjanjian Giyanti disebutkan pembagian wilayah antara Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I mendapatkan bagian: Separuh dari wilayah Negaragung, yaitu daerah-daerah sekeliling Nagari (kedudukan raja atau Keraton), luasnya mencakup 53.100 karya, yang meliputi wilayah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede. Separuh dari wilayah Manca Nagara, luasnya mencakup 33.950 karya, yang meliputi Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertosono, Kalongbret, Ngrowo (Tulungagung), Djapan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras-Karas, Selo, Warung, dan Grobogan.

Sementara wilayah Kasunanan Surakarta, Susuhunan Paku Buwono III menguasai wilayah Negaragung meliputi Surakarta, Klaten, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Boyolali, dan Sragen.  Ssurakarta juga tetap berkuasa atas daerah mancanagara kulon atau barat meliputi Karesidenan Banyumas, juga beberapa daerah di mancanagara wetan. Daerah-daerah itu di antaranya Karesidenan Madiun mendapatkan Ponorogo, Jogorogo dan separuh Pacitan.

 Adapun di Karesidenan Kediri memperoleh daerah Kediri asli, Lodaya, Srengat, Blitar dan Pace atau Nganjuk. PB III juga menguasai atas daerah Wirasaba atau Majaagung yang masuk Karesidenan Surabaya dan Blora.   Dua hari setelah Perjanjian Giyanti, tepatnya pada 15 Februari 1755, Gubernur VOC Nicolaas Hartingh, Sultan Hamengku Buwono I, serta beberapa pengawalnya berangkat menuju Jatisari yang berada di titik tengah antara Surakarta dan Giyanti.

 Kepergian rombongan tersebut guna melaksanakan pertemuan dengan Paku Buwono III untuk tujuan rekonsiliasi setelah Perjanjian Giyanti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Baha’Uddin dan Dwi Ratna Nurhajarini dari program studi Sejarah, Universitas Gadjah Mada (UGM), di Jatisari, kedua penguasa Jawa tersebut bertemu sebagai raja yang berkedudukan sama. Pada pertemuan tersebut, Paku Buwono III menghadiahi sang paman Hamengku Buwono I sebuah Keris Kyai Agung Kopek yang diturunkan dari Sultan Kalijaga. Saat ini, Keris Kyai Ageng Kopek berada di lingkungan Keraton Yogyakarta dan hanya dipegang oleh Sultan yang bertahta sebagai lambang pemimpin rohani dan duniawi.

Perjanjian Jatisari: budaya Surakarta dan Yogyakarta Paling penting dalam Pertemuan Jatisari, pembahasan mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan.  Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari pertemuan ini adalah Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Kerajaan Mataram. Sementara Sunan Paku Buwono III sebagai raja yang lebih muda sepakat memodifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru dengan tetap berlandaskan pada budaya lama.    

Penguat identitas masing-masing kerajaan seperti dilansir  Harian Kompas (25/9/2016), Sejarawan UGM, Sri Margana, menjelaskan sesudah Kerajaan Mataram terpecah menjadi beberapa kerajaan, terjadi sopistikasi atau penguatan identitas di masing-masing kerajaan. “Kenapa terjadi sopistikasi? Karena masing-masing kerajaan ingin mengembangan identitas sendiri yang berbeda satu sama lain, sekaligus ingin mengklaim sebagai pewaris asli dari kebudayaan Jawa,” kata Margana.

 Keinginan itulah yang kemudian memunculkan perumitan motif dan gaya dalam produk budaya yang dihasilkan, seperti yang terjadi pada batik. Margana kembali menuturkan, sopistikasi tersebut telah menghasilkan keragaman pada budaya Jawa. “Jadi, Jawa tidak lagi tunggal,” ujarnya. Dikutip dari Geohistory Masa Kolonial di Indonesia karya Artono dan Agus Tri Laksana (2020), perbedaan antara Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat di antaranya terletak pada bangunan, cara berpakaian, dan gamelan.

Segi bangunan Keraton Yogyakarta identik dengan gaya arsitektur Jawa tradisional. Sementara bangunan Keraton Surakarta sebagian besar bernuansa putih dan biru dengan arsitektur campuran Jawa-Eropa. Segi pakaian Dari segi pakaian yang melekat pada abdi dalem keraton, dapat ditilik dari blangkon, surjan, serta beskap yang digunakan. Blangkon pada Kesultanan Yogyakarta terdapat benjolan sebagai tempat gelungan rambut.

Hal itu dikarenakan pada zaman dahulu, laki-laki mempunyai budaya untuk memanjangkan   (   Sementara Kasunanan Surakarta, tidak ada benjolan pada blangkon karena mengikuti budaya mencukur rambut seperti bangsa Eropa. Kesultanan Yogyakarta memiliki surjan dan beskap yang lebih bermotif, seperti motif bunga-bunga.

 Sementara itu, surjan dan beskap Keraton Surakarta berwarna gelap dan tidak bermotif. Segi gamelan Keraton Yogyakarta memiliki susunan gamelan yang lebih renggang dan lebar dengan warna yang jauh lebih cerah. Sementara itu, Keraton Surakarta memiliki gamelan yang susunannya lebih rapat dengan warna cokelat kayu berpadu emas.  Nah itulah sejarah Perjanjian Jatisari yang menjadi cikal bakal perbedaan budaya dua kerajaan trah Mataram Islam yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. ( Dari berbagai sumber/kc/itp.04)