Oleh : Moses Waker
Pimpinan adat Papua mendukung penuh penegakan hukum LE agar ia bisa diperiksa secepatnya. Pasalnya, LE terus bersembunyi di rumahnya, di Jayapura. Seharusnya sebagai gubernur ia bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
LE menjadi buah bibir karena saat ini menjadi tersangka dugaan korupsi dan gratifikasi senilai miliaran rupiah. Namun ia mangkir dua kali dari panggilan KPK. Masyarakat geram dengan ulahnya yang tidak jantan. Mereka merasa malu karena LE mencoreng wajah orang Papua. Warga di Bumi Cendrawasih kecewa berat karena sebelumnya Lukas dikenal sebagai gubernur yang baik dan suka memberi beasiswa, ternyata diam-diam memakan uang negara.
Pimpinan adat Papua mendukung penuh penegakan hukum terhadap LE, agar kasusnya cepat selesai. Boas Assa Enoch, Ondoafi (pimpinan adat) Kampung Sosiri Jayapura, menyatakan bahwa LE harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Terutama melakukan hal yang tidak menguntungkan rakyat (korupsi) dan membuat masyarakat Papua marah.
Korupsi yang dilakukan oleh LE diduga dari hasil dana otonomi khusus (otsus). Tiap tahun pemerintah pusat mengelontorkan dana hingga triliunan rupiah untuk program otsus, demi kemajuan Papua. Namun masyarakat tidak merasa ada perubahan besar dan menduga dana otsus dicuri demi kepentingan. LE
Salah satu bukti LE korupsi adalah uang di dalam rekeningnya berjumlah 71 miliar rupiah. Jumlah yang sangat fantastis karena gaji seorang gubernur hanya 3 juta rupiah, dan tidak mungkin ditabung jadi miliaran rupiah hanya dalam beberapa tahun. Selain itu, LE ditengarai sering bepergian dengan pesawat jet pribadi, padahal harga sewanya sangat mahal.
Pimpinan adat dan masyarakat Papua juga marah besar karena LE nekat korupsi dan menerima gratifikasi, yang diduga dari dana PON XX Papua. Apalagi ketika ada pejabat lokal yang terang-terangan membela LE yang sudah jelas melakukan kesalahan. Diduga mereka adalah komplotan, sehingga ketika LE diperiksa KPK, akan takut kena ciduk juga dan mendapatkan status tersangka korupsi.
Ondoafi Boas Assa melanjutkan, LE tidak menaati dan menghormati aturan hukum. Bahkan istri dan anaknya yang dipanggil KPK (sebagai saksi) juga mangkir. Kasus LE adalah tindakan pelecehan terhadap martabat orang Papua. Apalagi saat ia mengaku sebagai kepala suku besar Papua, padahal gelar seperti itu tidak pernah ada.
Dalam artian, pimpinan adat Papua sangat malu akan kelakuan, LE yang nekat melakukan tindak pidana korupsi. Bagaimana bisa seorang gubernur yang seharusnya mengayomi rakyat, malah mencuri uang rakyat sampai milyaran rupiah? Apalagi uang itu diduga dipakai untuk berjudi di sebuah kasino, karena menurut penyelidikan KPK, di dalam rekening kasino ada dana sebesar 500 miliar.
Penegakan hukum terhadap LE harus lekas dilakukan agar kasusnya tidak berlarut-larut. Jika ia mengaku tidak bersalah, mengapa terus bersembunyi dengan alasan sakit jantung dan stroke? Tindakannya yang selalu mangkir dari panggilan membuat masyarakat makin menduga bahwa ia benar-benar korupsi lalu takut akan panggilan KPK, karena terancam hukuman penjara selama minimal 4 tahun.
Istri dan anak LE juga harus kooperatif dan mau dijadikan saksi dalam kasus korupsi ini. Rekening Yulce Wenda, istri LE, telah dibekukan karena ia diduga menerima aliran dana korupsi. Mereka tidak bisa menolak panggilan untuk diperiksa di Gedung Merah Putih KPK karena merupakan tindakan yang melawan hukum.
Sementara itu, Ketua Adat Keerom, Didimus Werare, menyatakan bahwa KPK harus memeriksa LE bersama dengan pejabat terdekatnya, agar semua yang berkaitan dengan kasus korupsi dapat dihukum. LE harus sadar dan mau diperiksa KPK sesuai aturan hukum. Jika LE merasa benar maka segera disampaikan ke KPK.
Didimus merasa geram karena LE tidak mau dipanggil KPK. Ia juga menantang apakah LE mau bertindak secara jantan lalu datang ke Jakarta? Jika ia tak bersalah maka mau diperiksa walau berjam-jam, tetapi kenyataannya ia sembunyi dengan alasan sakit, dan malah membuktikan bahwa ia diduga melakukan korupsi.
Didimus melanjutkan, masyarakat adat tidak akan melakukan intervensi karena tidak mau ada pengorbanan yang sia-sia. Warga Papua harus memperbolehkan KPK agar LE diperiksa. Dalam artian, jangan ada penduduk Papua yang malah membela LE bahkan berjaga di sekitar rumahnya.
Sejak LE ditetapkan jadi tersangka pada awal September lalu, spontan masyarakat membelanya lalu melakukan unjuk rasa. Mereka berjaga di sekitar rumah LE di Jayapura, bahkan ada yang membawa senjata tradisional. Padahal tindakan ini melawan hukum karena mereka membela seorang tersangka korupsi.
Para pimpinan adat Papua kompak untuk mendukung penegakan hukum terhadap. LE Sebagai pejabat seharusnya ia datang memenuhi panggilan KPK, karena memberi teladan kepada rakyatnya bahwa seorang warga negara yang baik harus taat hukum. Namun kenyataannya malah sebaliknya, dan membuat masyarakat geram karena LE belum mau juga datang ke Gedung KPK.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Gorotalo