Oleh : Renata Anggara
Pakar hukum dan aktivis menilai Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya menolak gugatan batas usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Pakar Pemilu/Perludem, Titi Anggraini menilai MK tidak memiliki wewenang menetapkan norma soal batas umur usia Capres dan Cawapres dalam tata norma hukum. Menurutnya, putusan MK tersebut akan menimbulkan kekecewaan masyarakat. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya tetap mempersiapkan segala aturan Pemilu tanpa tergantung dengan proses gugatan di MK.
Terlebih, Undang-undang kepemiluan yang menjadi landasan aturan KPU belum berubah.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Jentera, Bivitri Susanti mengatakan putusan MK tersebut bagaikan orkestra dari MK dan Presiden yang jelas mengkhianati konstitusi. Pada dasarnya publik mendukung revisi batas usia Capres dan Cawapres sebagai wujud regenerasi kepemimpinan nasional, namun hal tersebut harus dibahas di lembaga legislatif.
Hal ini diungkapkan dalam kegiatan media briefing dan diskusi publik yang diadakan oleh Koalisi Masyarakat Pemilu Kawal Pemilu Demokratis bertema “MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kekuasaan? Jelang Putusan MK Soal Batas Usi Capres-Cawapres” pada 15 Oktober 2023 lalu. Menurutnya, MK hanya berwenang memastikan produk hukum berjalan sesuai konstitusi, bukan membuat atau merubah hukum itu sendiri yang merupakan kewenangan lembaga legislatif.
Lebih lanjut, Bivitri berpendapat bahwa elit politik memanfaatkan situasi sekarang dengan mendeklarasikan Capres/Cawapres yang usianya belum memenuhi syarat berdasarkan UU Pemilu. Hal ini merupakan manuver politik untuk menekan bahwa gugatan usia merupakan keinginan publik.
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Politik/Direktur Eksekutif Lingkar Madani/Lima, Ray Rangkuti mengungkapkan terdapat kekhawatiran bahwa publik pasti menilai putusan MK adalah untuk kepentingan Gibran Rakabuming Raka. Menurutnya, apabila Gibran tegas menolak atau menerima tawaran menjadi Cawapres, maka polemik ini sudah selesai sejak beberapa waktu lalu. (ilustrasi-Ist)
Disisi lain, gugatan batas usia Capres-Cawapres dapat diduga sebagai upaya menjaga kekuasaan di pemerintahan. Apabila skenario Gibran menjadi Cawapres Prabowo terjadi, maka tidak menutup kemungkinan PDIP akan melakukan evaluasi atau berbagai manuver lainnya terhadap Presiden Joko Widodo dan Gibran.
Menurutnya, perlawanan terhadap dinasti politik sudah mulai terasa belakangan ini. Hal ini juga karena reformasi seolah hanya berfokus pada pemberantasan korupsi dan kolusi sehingga melupakan nepotisme. Ray berpendapat isu nepotisme merupakan salah satu tema yang membuat gejolak politik 1997-1998 bermula dari masuknya para anggota keluarga Soeharto ke kabinet. Sementara itu, Ray juga menilai Bawaslu harus dievaluasi karena selama ini terkesan selalu menolak laporan dari pihak-pihak tertentu dengan berbagai dalih.
Masih dalam event tersebut, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI) Nasional, Julius Ibrani justru menilai saat ini MK seolah memuluskan terbentuknya dinasti politik dalam gugatan usia Capres-Cawapres karena tidak menolak dari awal gugatan tersebut. Menurutnya, tema Pemilu yang selalu dibahas oleh MK hanya yang berkaitan dengan kepentingan elitis, bukan hal yang menyangkut akar rumput.
Sementara itu, Ketua Centra Initiative, DR. Al Araf menyebut MK merupakan lembaga produk reformasi yang bertugas membatasi kesewenangan kekuasaan serta memastikan penegakan HAM. Namun, MK saat ini sudah mengalami degradasi karena banyaknya pelanggaran etik dan pidana yang dilakukan Hakim MK serta banyaknya putusan MK yang inkonsisten. MK bukannya melindungi hak asasi manusia, namun justru melanggengkan kekuasaan rezim oligarki dan dinasti politik.
Krisis legitimasi terhadap MK terjadi karena berbagai putusannya tidak lagi memperhatikan konstitusi dan asas kepentingan umum. Hal ini akan berdampak pada setiap putusan MK yang dianggap sebagai sebuah masalah bagi publik. Lebih lanjut, ia menilai Bacapres yang paling berkepentingan dalam gugatan batas usia Capres-cawapres adalah Prabowo Subianto. Ganjar tidak mungkin karena sama-sama PDIP dengan Gibran, dan Anies Baswedan tidak mungkin karena sudah terbentuk pasangan dengan Muhaimin Iskandar.
MK juga dinilai tidak lagi menjadi lembaga kredibel dalam menjaga konstitusi. Hal tersebut diungkapkan Direktuf Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur. Menurutnya, MK juga tidak konsisten dalam putusan, salah satunya pernah memutuskan KPK termasuk rumpun eksekutif. Melihat banyaknya permasalahan yang melanda Hakim MK dan putusan MK, maka MK sudah cenderung menjadi mahkamah kekuasaan.
Tidak hanya para pakar dan aktivis, berbagai elemen masyarakat juga berpendapat bahwa putusan MK terkait batas usia Capres – Cawapres telah mengkhianati nilai-nilai demokrasi dan cita-cita reformasi. MK jelas menciptakan kekacauan hukum dengan mengabulkan gugatan sebagian gugatan syarat Cawapres. Putusan tersebut telah menurunkan kepercayaan dan optimisme publik terhadap MK.
Dalam menyikapi masalah ini, publik diharapkan menggunakan nalar sehatnya. Keputusan yang diambil MK seharusnya berpegang teguh kepada nilai-nilai ketuhanan, nilai yang memiliki kejujuran, kearifan, dan bertanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa. Kendati menimbulkan banyak kekecewaan, masyarakat juga diharapkan mampu bersikap bijaksana dan dewasa dalam menyikapinya, khususnya dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Hal ini diperlukan demi terciptanya kematangan demokrasi Indonesia.
Penulis adalah Pengamat Masalah Politik