Oleh : Alula Khairunisa
Pasal larangan penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebaiknya tidak perlu menjadi polemik di masyarakat. sebab, pasal tersebut berisi larangan untuk menghina, bukan mengkritik dan masuk dalam kategori delik aduan.
Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), Definisi kritik ditambahkan dalam penjelasan pasal 218 ayat 2 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, kritik yang dimaksud adalah untuk kepentingan umum yang diungkapkan dengan hak berekspresi dan berdemokrasi.
Dalam pasal 218 tertulis, (1) Setia orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. (2) Tidak merupakan penyerangan kehirmatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Kritik untuk kepentingan umum adalah kritik atau pendapat berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden. Harus disertai dengan pertimbangan baik buruk kebijakannya. Kritik yang ditujukan kepada pemerintah sebisa mungkin adalah kritik yang konstruktif dan memberikan alternatif solusi atau kritik itu harus dengan cara objektif.
Selain itu, kritik yang ditujukan kepada presiden dan wakil presiden juga tidak bermuatan merendahkan atau menyerang harkat dan martabat, menyinggung karakter atau kehidupan pribadi.
Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP Kemenkumham Albert Aries mengatakan untuk membedakan kritik dan delik itu sangatlah mudah. Delik pidana dalam hal tersebut seperti seorang mahasiswa yang mengucapkan kata-kata kotor kepada presiden. Adapun dalam KUHP yang baru delik pidana penghinaan kepada Presiden baru bisa berjalan jika ada aduan dari pejabat presiden tersebut.
Aries menegaskan bahwa pasal 218 RKUHP berbeda dengan pasal 134 KUHP dan membawa semangat dekolonisasi dan semangat demokratisasi. Ia beralasan, pasal 218 di RKUHP terbaru iini pengaturannya dibuat sebagai jenis delik aduan. Dengan kata lain, hanya presiden yang memiliki legal standing untuk mengadu, simpatisan atau pihak ketiga manapun muga tidak bisa melaporkan adanya penghinaan terhadap presiden ke polisi. Selain itu, ancaman sanksi pidananya di bawah 5 tahun sehingga tidak dapat dilakukan penahanan, serta sanksinya tidak harus dipenjara, tapi bisa didenda.
Ditambahkannya, perlindungan hukum pidana atas harkat dan martabat presiden memang perlu dilakukan untuk membedakan diri presiden dengan warga biasa, karena sebenarnya dengan atau tanpa adanya pasal ini presiden tetap bisa mengadu dengan pasal penghinaan biasa, bedanya dalam pasal 218 RKUHP sanksi pidananya diperberat untukmembedakan perlakuannya sebagaimana pengaturan pasal-pasal lainnya.
Aries juga merespons terkait dengan penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga umum yang ramai dibicarakan sesuai pasal 240 RKUHP. Ia menyebutkan, pasal 240 RKUHP mengubah pasal 154 KUHP yang tadinya delik abstrak menjadi delik konkret. Dengan demikian, semangat kolonial pasal 154 KUHP berubah. Oleh karena itu hal ini membuktikan bahwa semangat dekolonialisasi dalam RKUHP sangat jelas.
Perlu diketahui bahwa ciri pasal kolonial basanya selalu berbentuk ‘delik biasa’ (semua orang bisa melaporkan), sedangkan dalam pasal 218 RKUHP tentang penyerangan harkat dan martabat diri presiden terhadap presiden atau Pasal 351 RKUHP tentang penghinaan terhadap lembaga umum jenisnya delik aduan, di mana hanya pengadu sebagai orang yang dirugikan bisa langsung membuat pengaduan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah memastikan bahwa pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden tersebut sama sekali tidak memiliki niat untuk membatasi kritik. Apalagi peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia juga membuka ruang atas kritik tersebut.
Secara tegas Yasonna mengatakan bahwa pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di RKUHP ini berbeda dengan pasal sejenis yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dirinya menilai bahwa terlalu liberal jika membiarkan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir menilai, penyempurnaan di dalam RKUHP sudah sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. UU ini juga tidak akan merugikan masyarakat.
RKUHP merupakan carry over atau operan dari DPR periode sebelumnya yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Pemerintah disebutnya tidak terburu-buru untuk mengesahkannya.
Hukum merupakan cerminan kesadaran serta keunikan masyarakat dan keberadaannya harus dipahami oleh seluruh elemen di dalamnya. Oleh sebab itu, RKUHP memberi tempat penting atas konsep restorative justice yang dewasa ini mulai menjadi kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat.
Tanpa RKUHP Presiden juga bisa menuntut siapapun yang menghinanya, tetapi keberadaan RKUHP tentu saja bertujuan untuk menjadi pembeda antara Presiden dengan masyarakat biasa. Bagaimana pun juga RKUHP tidak mengancam pengkritik dengan penjara, tetapi tentu saja ada aturan yang harus dipahami untuk memberikan kritik kepada pemerintah.
Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara