Oleh : Aulia Hawa
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan rancangan undang-undang yang disusun dengan tujuan untuk memperbaharui KUHP agar sesuai dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tentu saja isi dari undang-undang tersebut mencerminkan nilai-nilai pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara.
Bagaimanapun juga, Pancasila harus menjadi norma dasar dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Sehingga setiap peraturan dan perundang-undangan harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila termasuk RKUHP.
Tentu saja apabila masyarakat menemukan pasal-pasal yang dirasa kurang sesuai dengan nilai Pancasila maupun nilai demokrasi, hal tersebut bisa didiskusikan.
Salah satu bentuk cerminan nilai pancasila dalam RKUHP ialah munculnya konsep asas legalitas materiil dalam pasal 2 RKUHP. Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang menyatakan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang undang”
Pasal tersebut didasari dari sebuah pemahaman bahwa hukum tidaklah terbatas pada suatu aturan tertulis atau undang-undang saja melainkan terdapat pula hukum yang tidak tertulis. Sehingga dengan adanya Pasal 2 RKUHP tersebut dapat memberikan ruang khususnya bagi aparat penegak hukum khususnya hakim untuk dapat menggali hukum yang hidup di masyarakat dalam upaya menciptakan keadilan.
Apabila ditelisik lebih dalam, pasal 2 RKUHP ini berangkat dari kondisi Indonesia yang memiliki keberagaman budaya di setiap daerahnya. Di mana terdapat beberapa daerah di Indonesia yang masih meyakini hukum yang hidup sejak nenek moyangnya meskipun tidak dilakukan kodifikasi secara tertulis.
Di Bali misalnya, terdapat kebiasaan atau hukum di mana dalam urusan perkawinan dilakukan dengan cara membawa lari pihak perempuan kemudian menikah (kawin) bersama. Hal yang sedemikian oleh masyarakat setempat bukanlah suatu perbuatan pidana. Namun jika melihat hukum nasional atau dalam KUHP maka perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan pidana.
Hukum atau kebiasaan yang hidup dalam masyarakat ini tentu saja tidak dapat dijadikan dasar oleh majelis hakim dikarenakan dalam KUHP hanya diatur asas legalitas formil sebagaimana dalam pasal 1 KUHP. Di mana pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi bahwa “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Oleh karena itu pasal tersebut dapat dikatakan bahwa dalam hukum pidana di Indonesia, setiap perbuatan dapat dipidana jika terdapat undang-undang yang mengatur dan memenuhi unsur dari undang-undang tersebut.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, berharap agar RUU tersebut bisa segera diundangkan.
Apalagi sudah 59 tahun RKUHP ini dibahas melalui tim yang silih berganti dan mendapat arahan politik hukum dari tujuh presiden. Sehingga rancangan ini bisa dikatakan sudah siap untuk diberlakukan.
Sebelumnya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menggelar diskusi kelompok terumpun (DKT) dengan tema ‘Refleksi Nilai Pancasila dalam RKUHP’. Acara tersebut dihadiri oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum sebagai narasumber, dirinya menilai bahwa menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidaklah mudah.
Edward menilai, salah satu kesulitan dalam menyusun KUHP adalah latar belakang masyarakat Indonesia yang kerap memicu pro dan kontra. Dirinya menuturkan, isi KUHP di seluruh dunia sama, tetapi yang membedakan antara negara satu dengan negara yang lainnya ada pada tiga isu, yakni kejahatan politik, kejahatan kesusilaan dan penghinaan. Ia juga mengatakan, ketika berbicara tentang demokrasi, Indonesia bukanlah demokrasi liberal atau demokrasi terpimpin, tetapi Demokrasi Pancasila.
Kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat tentu saja merupakan bagian yang penting dari sebuah demokrasi yang juga harus diiringi oleh prinsip kemanusiaan.
Dalam kesempatan tersebut, dirinya juga berharap kepada BPIP agar senantiasa memberikan edukasi kepada masyarakat terkait nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam RUU KUHP.
Pada kesempatan berbeda, Antonius Benny Susetyo selaku Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, mendorong agar RKUHP dapat segera disahkan. Pasalnya, KUHP yang ada saat ini sudah tidak relevan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam KUHP saat ini juga terdapat ketimpangan dominasi, di mana produk hukum ini dipakai oleh kolonial untuk menindas rakyat kecil. Hal tersebut tentu saja harus diubah, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara yang terakomodir dalam RKUHP pada pasal 190 ayat 1 yang dapat menjadi kekuatan hukum dalam menindak siapapun yang berniat untuk mengganti serta mengganggu Pancasila.
Oleh karena itu sudah sepatutnya RKUHP disahkan agar Indonesia tidak berpedoman pada undang-undang yang merupakan produk kolonial di mana saat ini UU tersebut sudah tidak sesuai.
Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini