RKUHP Wujudkan Hukum Pidana Berorientasi Pancasila

112
UU Cipta Kerja Percepat Proses Pembangunan Nasional
Ilustrasi-Ist

Oleh : Alula Khairunisa
Pancasila sebagai dasar negara harus menjadi orientasi bagi produk hukum yang tengah dirumuskan, tidak terkecuali Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang merupakan rancangan untuk memperbaharui KUHP agar sesuai dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, sangat penting dan sangat mendasar. Pancasila merupakan landasan yang sangat fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Kedudukan yuridis yang disandang Pancasila sejak 18 Agustus 1945 bersama dengan diundangkannya UUD 1945 dalam berita Republik Indonesia Nomor 7 oleh PPKI.

Pancasila merupakan ideologi atau dasar negara yang sudah final, sehingga keberadaannya harus menjadi norma dasar dalam penyusunan undang-undang ataupun regulasi.

Wakil Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Dr. Drs. Karjono, S.H., M.Hum, mengatakan penyusunan RKUHP merupakan upaya menghimpun masukan-masukan dari berbagai pihak untuk menyamakan persepsi masyarakat terhadap pasal dalam RKUHP.

Karjono menyebutkan, penyusunan RKUHP ini sebagai bentuk pertanggungjawaban proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara transparan serta melibatkan masyarakat. Pancasila sebagai landasan filosofis perlu diperhatikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan guna mencapai cita-cita hukum.

Karjono berharap dengan gotong royong dan berbagai pandangan yang lahir akan mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik, berlegitimasi dan dapat dipertanggungjawabkan.

Tentu tidak mudah bagi sebuah negara yang sangat multikultur dan multietnis untuk membuat kodifikasi hukum pidana yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan. Oleh karena itu, kerja sama dan komunikasi yang baik antara pemerintah, DPR RI dan seluruh elemen masyarakat harus terjalin kuat untuk mewujudkan KUHP Nasional yang baru.
Dalam dialog publik yang diselenggarakan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM ini ada 14 isu krusial yang dibahas. Di antaranya, pasal mengenai living law, pidana mati, penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, menyatakan diri melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin.

Selain itu, contempt of court, unggas dan ternak yang merusak kebun, advokat yang curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan, penggelandangan dan perzinaan.

Karjono menambahkan, RKUHP ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyusun suatu sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda.

Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, Karjono menegaskan, pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan secara terpadu, terencana dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional untuk menjamin perlindungan hak dan kewajiban setiap warga negara.

Pada kesempatan berbeda, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo mendorong agar RKUHP dapat segera disahkan. Pasalnya, KUHP yang ada saat ini sudah tidak relevan dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam KUHP saat ini juga terdapat ketimpangan dominasi, di mana produk hukum ini dipakai oleh kolonial untuk menindas rakyat kecil. Hal tersebut tentu saja harus diubah, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Pancasila sebagai dasar negara yang terakomodir dalam RKUHP pada pasal 190 ayat 1 yang dapat menjadi kekuatan hukum dalam menindak siapapun yang berniat untuk mengganti serta mengganggu gugat Pancasila.

Salah satu bentuk cerminan nilai pancasila dalam RKUHP ialah munculnya konsep asa legalitas materiil dalam pasal 2 RKUHP. Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang menyatakan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang undang”
Pasal tersebut didasari dari sebuah pemahaman bahwa hukum tidaklah terbatas pada suatu aturan tertulis atau undang-undang saja melainkan terdapat pula hukum yang tidak tertulis. Sehingga dengan adanya Pasal 2 RKUHP tersebut dapat memberikan ruang bagi aparat penegak hukum khususnya bagi aparat penegak hukum khususnya hakim untuk dapat menggali hukum yang hidup di masyarakat dalam upaya menciptakan keadilan.

Apabila ditelisik lebih dalam, pasal 2 RKUHP ini berangkat dari kondisi Indonesia yang memiliki keberagaman budaya di setiap daerahnya. Di mana terdapat beberapa daerah di Indonesia yang masih meyakini hukum yang hidup sejak nenek moyangnya meskipun tidak dilakukan kodifikasi secara tertulis.

Di Bali misalnya, terdapat kebiasaan atau hukum di mana dalam urusan perkawinan dilakukan dengan cara membawa lari pihak perempuan. Hal yang sedemikian oleh masyarakat setempat bukanlah suatu perbuatan pidana. Namun jika melihat hukum nasional atau dalam KUHP maka perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan pidana.

RKUHP ini sudah lama dibahas melalui tim yang silih berganti dan mendapat arahan politik hukum dari tujuh presiden. Sehingga rancangan undang-undang ini bisa dikatakan sudah siap untuk diterapkan di Indonesia, di sisi lain RKUHP ini juga sudah berorientasi pada Pancasila.

Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara