Oleh : Grace Elvia Valentina
Lembaga pendidikan dan media sosial (medsos) di era digital ini merupakan dua wilayah yang diperebutkan oleh kelompok radikal terorisme karena dinilai sangat efektif untuk mentransformasi paham serta merekrut anggota. Wajib bagi semua kalangan untuk mewaspadainya dan berusaha agar paham tersebut tidak meracuni pikiran peserta didik maupun pengajar khususnya di lingkungan pendidikan.
Saat acara “Training Of Trainer Menjadi Guru Pelopor Moderasi Beragama”, di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara) Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen (Pol) R Ahmad Nurwakhid mengatakan bahwa guna mencegah paham kekerasan oleh kelompok radikal terorisme perlu membekali pemahaman pencegahan terorisme kepada para guru atau pengajar melalui penguatan moderasi beragama melalui ruang pendidikan dan medsos.
Guna mengisi ruang pendidikan, juga perlu terus melakukan kontra narasi di ruang digital, sehingga acara tersebut dirangkai dengan lomba “Pembuatan Bahan Ajar Berupa Video Pendek Sosiodrama Moderasi Beragama”. Hal ini merupakan salah satu cara dalam melawan penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan oleh BNPT.
Ahmad menegaskan bahwa terorisme merupakan ancaman nyata bagi kedamaian di Indonesia. Kelompok pelaku terorisme tinggal di tengah masyarakat, membaur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan bukan tidak mungkin ada di tengah-tengah lembaga pendidikan, sehingga semua kalangan masyarakat harus selalu waspada.
Sejalan dengan hal tersebut, Ahmad menuntut agar semua pihak dalam mencegah paham kekerasan ini dapat mengedepankan kewaspadaan, tidak hanya untuk alasan keselamatan, melainkan juga mencegah tersebarluaskannya paham radikal terorisme tersebut.
BNPT sebagai lembaga negara yang mendapatkan mandat melaksanakan penanggulangan terorisme dengan mengoordinasikan seluruh kementerian dan lembaga yang terus berupaya menekan kejahatan luar biasa tersebut. Ahmad menambahkan bahwa pihaknya berupaya untuk tidak hanya melalui penindakan secara tegas, namun juga menjalankan program-progran bersifat ‘soft approach’ atau penanganan secara lunak dalam menyelesaikan setiap kasus yang di hadapi.
Kegiatan “Training Of Trainer Menjadi Guru Pelopor Moderasi Beragama” merupakan salah satu bentuk bagaimana terorisme ditanggulangi secara lunak dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, khususnya melalui partisipasi aktif stakeholder pendidikan yakni pengajar, pelajar, para staf di lingkungan pendidikan termasuk para orang tua.
Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sholehuddin yang merupakan pembicara dalam acara tersebut, sepakat bahwa saat ini terjadi perebutan wilayah ruang medsos dan ruang pendidikan baik untuk pelaku paham kekerasan maupun upaya pencegahannya. Ia menambahkan bahwa faktanya khusus ruang medsos lebih banyak dikuasai oleh paham-paham menyimpang ketimbang konten yang bersifat mendidik.
Selain itu, menurut Sholehuddin, mengapa ruang pendidikan sangat krusial dalam pencegahan radikalisme? Karena hasil penelitian 2019, tercatat 49,60 persen pendidikan agama berasal dari guru atau pengajar bukan dari orangtua atau keluarga.
Hal cukup mengejutkan yang Sholehuddin utarakan adalah hasil survei BNPT-FKPT 2019 di Kaltara. Ternyata provinsi berpenduduk sekitar 700.000 jiwa tersebut memiliki potensi radikalisme dengan skor 40,28, dari pemahaman dengan skor 49,73, sikap dengan skor 53,85, dan tindakan dengan skor 17,25. Artinya, dengan skor pemahaman dan sikap yang cukup tinggi, maka dibutuhkan sebuah pemicu atau pemantik agar terjadi tindakan radikalisme yang tinggi dari awalnya hanya memiliki skor 17,25 di Kaltara. Sehingga menurut Sholehuddin, langkah BNPT dan FKPT menggelar berbagai strategi dalam mencegah radikalisme dan terorisme, termasuk melalui giat Training Of Trainer sangat tepat.
Disisi lain, Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (UNNES) menggandeng Polres Kota Besar (Polrestabes) Semarang menggelar seminar bertajuk mewaspadai susupan radikalisme dalam kampus yang dimotori oleh Pusat studi anti radikalisme dan terorisme (Pusara) FH Unnes dalam bentuk seminar webinar. Seminar ini menghadirkan tiga mantan eks Narapidana Terorisme (Napiter) yakni Hadi Masykur, Sri Puji Mulyo Siswanto dan Nur Afifudin sebagai narasumber.
Selain itu FH Unnes juga mengundang Kepala Sub Unit (Kasubnit) Pembinaan Perpolisian Masyarakat (Binpolmas) Satuan Pembinaan Masyarakat (Satbinmas) Polrestabes Semarang, Bripka Purnomo Budi Setiyawan selaku pendamping mantan eks napiter sebagai narasumber. Budi mengatakan bahwa hadirnya mantan natiper bertujuan untuk mengedukasi para mahasiswa terkait bahaya radikalisme.
Budi menambahkan bahwa selain dari alasan tersebut, hadirnya mantan natiper juga memberikan gambaran kepada para mahasiswa terkait dampak yang ditimbulkan apabila terkena faham radikalisme dan terorisme. Ia menuturkan materi yang diberikan kepada mahasiswa seminar saat itu adalah mendeteksi dini faham radikalisme dan terorisme di lingkungan kampus. Pihaknya berharap adanya seminar tersebut, Unnes dapat terbebas dari faham radikalisme dan terorisme.
Wakil Dekan II FH Unnes, Ali Masyhar mengatakan selama ini Pusara selalu ikut mengantisipasi faham radikalisme. Pihaknya juga secara berkelanjutan melakukan penelitian dan kajian terkait faham tersebut tidak hanya di wilayah lokal tetapi juga ditingkat nasional.
Terkait radikalisme menurut Ali, sekitar tujuh tahun yang lalu faham itu hampir berkembang di kampusnya. Kala itu organisasi yang berhasil menyusup di kampusnya adalah Negera Islam Indonesia (NII). Namun saat itu masih dalam tahap rekrutmen dan masih dapat diatasi secara cepat melalui koordinasi dengan Polrestabes Semarang.
Ali mengatakan bahwa saat ini faham radikalisme sudah tidak ada di kampusnya. Namun demikian Unnes memiliki komitmen tegas mengeluarkan mahasiswanya jika terpapar faham radilkalisme.
Penulis adalah Pengamat Terorisme Persada Institute