Oleh : Shenna Aprilya Zahra
Teror bom yang terjadi di Bandung beberapa waktu lalu menjadi pengingat bahwa radikalisme masih ada. Untuk itu perlu ada sinergitas antar lembaga dalam menangani radikalisme dan terorisme. Tak hanya BNPT dan Kepolisian yang menanganinya, tetapi juga lembaga negara yang lain. Tujuannya agar radikalisme cepat dihapuskan dari Indonesia.
Bom yang terjadi di Mapolsek Astana Anyar, Kota Bandung, membuat masyarakat kaget karena tak menyangka ada penyerangan dari kelompok radikal dan teroris. Apalagi pelakunya adalah seorang mantan narapidana terorisme. Saat sudah bebas dari penjara, ia masih saja berpaham radikal dan melakukan aksi balas dendam, dengan mengebom kantor polisi.
Kapolrestabes Bandung Kombes Aswin Sipayung menyatakan bahwa ledakan terjadi pukul 8:20 WIB pada 7 Desember 2022, ketika anggota Polsek sedang melakukan apel pagi. Seorang laki-laki masuk ke Mapolsek sambil mengacungkan senjata tajam dan menerobos barisan apel pagi. Seketika anggota (polisi) menghindar lalu ada ledakan. Ada 1 korban jiwa (pelaku) dan 3 anggota polisi yang luka-luka.
Saat ada serangan bom maka ada pengingat bahwa radikalisme dan terorisme di Indonesia masih ada. Untuk menangani radikalisme maka perlu ada kerja sama yang solid. Baik dari lembaga negara, aparat keamanan, maupun masyarakat sipil.
Ismail, Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam Indonesia menyatakan bahwa ia mengutuk pengeboman dan aksi terorisme yang terjadi di Bandung. Kemudian, untuk mengatasi radikalisme dan terorisme, maka perlu ada sinergitas antar lembaga. Di antaranya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), BIN TNI, dan Polri.
Dalam artian, seluruh lembaga negara diharap bekerja sama dalam menanggulangi terorisme. BNPT melakukan pencegahan sehingga para teroris ditangkap agar mereka tidak bisa melakukan penyerangan dan pengeboman. Tindakan pencegahan sangat penting karena jika serangan dilakukan di tempat umum, takut ada korban luka-luka, bahkan korban jiwa.
Kemudian, untuk penanggulangan napiter (napi teroris) harus diintensifkan lagi. Penyebabnya karena pelaku pengeboman di Bandung adalah mantan napiter. Setelah fase deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan, seharusnya pemikiran mereka didetoksifikasi dari ajaran radikal dan teroris. Namun ada mantan napiter yang belum berhasil dan akhirnya melakukan pengeboman.
Dalam program deradikalisasi bisa minta bantuan psikiater, psikolog, atau ahli agama. Mereka bisa membimbing para napiter agar melepaskan pikirannya yang telah diracuni oleh radikalisme dan terorisme. Dengan terapi di alam bawah sadar maka mereka disadarkan bahwa selama ini yang diyakini adalah sebuah kesalahan besar, karena radikalisme menghilangkan nyawa orang lain.
Kemudian, sinergi antara TNI dan Polri juga sangat diperlukan. Aparat adalah sahabat rakyat, oleh karena itu mereka harus melindungi rakyat dari berbagai kejahatan. Termasuk kejahatan dari kelompok radikal dan teroris.
Ismail melanjutkan, untuk membuat sinergitas dalam menanggulangi terorisme maka perlu ada bantuan dari masyarakat. Mereka tidak boleh menolak mantan napiter yang telah bebas dan ingin membaur di tengah masyarakat. Selama ini sudah ada mantan napiter yang hidup normal, seperti Ali Imran (yang dulu pernah jadi tersangka kasus pengeboman di Bali).
Dalam artian, masyarakat wajib memahami bahwa para eks napiter sudah menebus kesalahannya selama di dalam penjara. Mereka juga telah melalui proses deradikalisasi. Jangan ditolak saat ada napiter yang kembali ke rumahnya atau mengontrak di tempat yang baru.
Yang dikhawatirkan, penolakan akan membuat bibit-bibit balas dendam muncul dari para eks napiter. Mereka akan teringat kejamnya dunia terorisme lalu melakukan aksinya kembali. Semua ini karena penolakan dari masyarakat.
Oleh karena itu masyarakat wajib berbesar hati dan menerima para eks napiter di tengah-tengah mereka. Jangan ada yang antipati atau mengucilkan. Mereka sudah berusaha jadi orang baik dan alangkah baiknya diberi kepercayaan juga untuk menjadi orang baru.
Masyarakat harus bersatu dalam melawan terorisme dan pendukung kelompok radikal, dan bekerja sama dengan lembaga negara. Salah satu caranya adalah dengan menekan tombol laporan di media sosial, saat ada netizen yang terang-terangan mendukung radikalisme dan terorisme. Atau jika ada yang malah memuji pelaku pengeboman. Dengan pelaporan maka akan ditindaklanjuti oleh pihak pengelola media sosial.
Kemudian, masyarakat juga bisa melaporkan ke pihak berwajib atau polisi siber, jika ada indikasi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok radikal dan teroris. Dengan pelaporan maka akan ada pencegahan sehingga tidak ada serangan selanjutnya. Terutama pada akhir tahun saat ada peringatan hari raya umat dan rawan potensi penyerangan dan pengeboman.
Sinergi dalam melawan terorisme dan radikalisme harus dilakukan untuk mencegah serangan selanjutnya. Terorisme wajib dihalau dengan kerja sama antara lembaga-lembaga negara, aparat keamanan, dan warga sipil. Jika semuanya bekerja sama maka akan ada sinergitas yang menimbulkan kesolidan. Terorisme akan mudah diberantas karena semua orang mau bersatu untuk melawan radikalisme dan ekstrimisme di Indonesia.
Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara