Manokwari-Intipnews.com: Pemerintah masih terus melakukan sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru di sejumlah wilayah di Indonesia, karena masih ditemukan masyarakat yang kontra terhadap pengesahan KUHP.
Dalam acara sosialisasi KUHP di Swissbel Hotel Manokwari, Papua Barat pada Rabu (8/2/2023), Sekjen Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), Dr. Ahmad Sofyan mengungkapkan, sosialisasi ini dirancang bukan hanya untuk mendesiminasikan kepada masyarakat, namun juga berdialog langsung dengan penyusunnya tentang KUHP baru (foto).
“Kegiatan ini juga bisa meluruskan terhadap sejumlah substansi yang masih dianggap meragukan, sehingga masyarakat mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap KUHP baru”, jelasnya.
Dalam acara sosialisasi KUHP baru yang terselenggara atas kerjasama dan kolaborasi antara MAHUPIKI dengan Universitas Papua ini, Rektor Universitas Papua, Dr. Melky Sagrim menegaskan bahwa masyarakat perlu mengetahui KUHP baru agar memahami hal-hal yang dilarang ataupun tidak dalam KUHP.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Prof. Romli Atmasasmita sebagai salah satu narasumber menyatakan bahwa pembahasan KUHP baru sudah menerima banyak masukan dari publik.
“Tim Pemerintah Pembahasan KUHP banyak menerima masukan dari berbagai unsur masyarakat melalui “Public Hearing”. Pelaksanaan public hearing merupakan salah satu upaya pemenuhan partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU 12/2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tidak hanya itu, Pemerintah juga melakukan pengecekan ulang yang dibuktikan dengan penemuan 14 isu krusial setelah menerima masukan dari masyarakat”, ungkap Prof. Romli.
Lebih lanjut, Guru Besar Universitas Padjadjaran ini mengatakan partisipasi masyarakat merupakan salah satu peran penting karena memiliki beberapa poin seperti right to be heard, right to be explained, dan right to be considered.
Urgensi mengganti KUHP versi lama dengan KUHP Nasional, lanjut Prof. Ramli, menjadi langkah penting karena terdapat perubahan paradigma menjadi paradigma retributif seperti Keadilan Korektif, Keadilan Restoratif, dan Keadilan Rehabilitatif.
“Perumusan KUHP Nasional menjadi penting karena sebagai perwujudan reformasi sistem hukum pidana nasional yang menyeluruh dengan mengadopsi nilai Pancasila sebagai budaya bangsa”, pungkasnya.
Senada, Guru Besar Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah juga menuturkan bahwa masyarakat harus mengetahui mengapa KUHP turunan Belanda harus digantikan dengan KUHP baru yang telah disusun oleh pakar – pakar hukum terbaik Bangsa Indonesia.
“Alasannya diantaranya secara politik jika Indonesia masih menggunakan KUHP lama, berarti Indonesia masih dalam jajahan Belanda”, kata Prof. Arief.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Diponegoro, Prof Pujiyono mengungkapkan, ada sejumlah isu aktual dalam KUHP Nasional, diantaranya Living Law atau hukum adat, aborsi, kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, perbuatan cabul, tindak pidana terhadap agama atau kepercayaan dan tindak pidana yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi.
Menurutnya, hukum pidana adat atau delik adat yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan menjadi dasar bagi pembentukan Peraturan Daerah (Perda).
“Hukum pidana adat (delik adat) yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan menjadi dasar bagi pembentukan Peraturan Daerah”, ungkapnya.
Dalam KUHP baru juga memasukkan tindak pidana terhadap agama atau kepercayaan dimana diatur dalam pasal 300. Terkait hal tersebut Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah permusuhan, kebencian, dan hasutan untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan orang lain.ril/Itp05