Oleh : Muhammad Zaki
Paham radikal bisa menyusup di mana saja, tak terkecuali di ranah akademis, di mana siswa berseragam juga tak luput dari ancaman paparan ideologi radikalisme. Hal ini tentu saja harus ditangani dan ditemukan solusinya agar paham ini tidak semakin menyebar.
Radikalisme merupakan virus berbahaya. Menurut Hasani dan Naipospos (2010), radikalisme adalah pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya
Jika dilihat dari sudut pandang agama, kata radikalisme dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham/aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham/radikal untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayai untuk diterima secara paksa.
Sholahuddin Al-Aiyub selaku Ketua MUI Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, mengatakan bahwa Islam wasathiyah menjadi solusi dari pemahaman menyimpang radikalisme dan liberalisme. Demikian disampaikan olehnya pada seminar nasional penanggulangan radikalisme dan intoleran di Indonesia yang dihelat MUI Provinsi Riau.
Aiyub mengatakan, Radikalisme dan Liberalisme agama telah mendistorsi pemahaman agama. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah dan upaya mengembalikan ke jalan yang lurus, yaitu mengembalikan ke Islam Wasathiyah.
Dirinya juga menyebutkan bahwa radikalisme merupakan paham yang menyimpang. Disebut Menyimpang karena memahami nash agama hanya berpegang pada nash secara zhahir (manthuq an-nash) dan mengabaikan nash secara substansi (mafhum an-nash).
Radikalisme, merupakan pengalaman berlebihan terhadap ajaran agama. Sering pula disertai upaya mengubah tatanan pemahaman agama yang sudah ada. Mereka yang terpapar radikalisme juga seringkali menganggap bid’ah orang yang berbeda pemahaman dengan kelompoknya. Sehingga menimbulkan ekspresi keagamaan yang intoleran.
Adapun liberalisme agama, dianggap menyimpang karena meyakini bahwa nash adalah teks terbuka yang siapapun bebas untuk menafsirkan atau menakwilkannya tanpa memperhatikan sistem dan metodologi yang telah diformulasikan oleh para ulama.
Mereka beralasan bahwa ajaran agama mesti sesuai dengan kemaslahatan. Sehingga apabila nash bertentangan dengan maslahat, nash lah yang harus ditinggalkan.
Pemahaman radikalisme ini sangat berbahaya karena dapat merobohkan pilar-pilar epistemologis ajaran Islam sehingga menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan syariat Islam serta menjerumuskan ke dalam kesesatan.
Parahnya, tidak sedikit guru yang terpapar paham radikal, di mana guru mengajarkan tentng khilafah dan memberikan pemahaman kepada muridnya bahwa demokrasi itu haram. Setelah ditelusuri, guru tersebut ternyata aktif di organisai HTI yang saat ini sudah dibubarkan oleh pemerintah.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, ada urutan untuk mengindikasikan guru terpapar radikalisme atau tidak.
Urutan yang pertama adalah kegiatan, apa saja kegiatan rutin yang dilakukan, sehingga tidak bisa menuduh seseorang radikal hanya karena satu kali tindakan. Selanjutnya adalah bagaimana jejak digitalnya, apakah terdapat akses ke situs yang memuat konten radikal atau tidak.
Perlu disepakati bahwa peran guru dan tenaga kependidikan yang berkaitan langsung dengan pendidikan anak-anak didik yang akan menjadi penerus dan pemimpin bangsa sangatlah diperlukan.
Sehingga alangkah baiknya apabila proses perekrutan Guru, didukung pula dengan pelacakan rekam jejak dari masing-masing pelamar baik isu ideologi tertentu. Baik secara pemahaman maupun keterlibatan dengan organisasi-organisasi yang sudah dilarang oleh pemerintah, seperti organisasi HTI maupun organisasi-organisasi radikal lainnya.
Para Guru dan tenaga pendidik lainnya juga harus mendukung Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berjiwa terbuka, toleran dan bersedia gotong-royong dengan seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali serta setia terhadap NKRI.
Pada 2018, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menemukan fakta di mana tidak sedikit dari para guru yang memiliki sikap intoleran baik eksplisit maupun implisit, yakni mencapai 35-40 persen guru-guru di Indonesia. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bagi keberlangsungan eksistensi ideologi bangsa.
Mirisnya, Sejak kejayaan hingga kejatuhan ISIS, terdapat sekitar 700 sampai 800-an WNI simpatisan ISIS di Suriah. Dari keseluruhan tersebut, baru sekitar 200 orang yang telah dipulangkan ke Indonesia.
Sisanya, mereka tidak bisa pulang ke tanah air karena berbagai pertimbangan. Apalagi sempat tersiar kabar bahwa beberapa WNI disana telah menyobek pasportnya, itu artinya ia sudah tidak memiliki keinginan untuk kembali ke tanah air.
Sementara itu, Konten radikalisme di internet sudah tak terhitung jumlahnya. Radikalisme agama yang diagung-agungkan justru dapat menimbulkan perpecahan diantara sesama umat beragama dengan keyakinan yang sama atau dengan kelompok agama lain.
Paham radikal dalam menjalankan dan menyebarkan pemahamannya cenderung menggunakan cara yang tidak sesuai dengan apa yang sudah dijadikan pedoman kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Radikalisme terus mencoba mencekoki generasi bangsa dengan apa yang mereka pahami sebagai pedoman hidup maupun solusi atas permasalahan bangsa.
Radikalisme merupakan hal yang tidak bisa dibiarkan, paham radikal sudah jelas tidak selaras dengan nilai-nilai yang ada pada pancasila, sehingga kita wajib wasapada terhadap konten-konten yang bernuansa ujaran kebencian atau ajakan radikal seperti menolak demokrasi atau mengibarkan bendera khilafah.
Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis (LSISI)