Labuhanbatu-Intipnews.com: Kepala Desa Sei Tampang, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhanbatu, Muhammad Asmui mempertanyakan standar konstruksi bangunan proyek Instalasi Pengolahan Air (IPA) Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Ibukota Kecamatan (IKK) di Bilah Hilir diduga senilai Rp 60 miliar lebih.
Pertanyaan itu muncul menyusul tumbangnya tembok penahan tanah timbunan bagian depan yang tingginya diperkirakan 1 meter dan panjang 50 meter, belum lama ini.
Untuk diketahui, desa Sei Tampang bersama empat desa lainnya di Kecamatan Bilah Hilir yakni Desa Sidomulyo, Selat Besar, Tanjung Haloban, Sei Kasih, Sei Tarolat serta Kelurahan Negeri Baru merupakan pengusul untuk pembangunan IPA SPAM tersebut.
Kepada wartawan Rabu (26/10/22), saat dikonfirmasi via telepon selular, Muhammad Asmui mengatakan, ketika tembok penahan itu runtuh dia sempat mempertanyakan kualitas konstruksi tembok penahan itu.
Menurut dia, saat tembok tersebut tumbang, disaat yang bersamaan pihak perkebunan yang ada disana sedang mengoperasikan alat berat untuk melakukan pencucian parit. Karenanya, pencucian parit menggunakan alat berat itu dijadikan alasan tumbangnya tembok penahan itu.
“Karena waktu itu kebetulan orang kebun melakukan pencucian parit yang ada disamping tembok yang runtuh itu menggunakan alat berat, jadi orang itu menganggap karena itulah tembok itu roboh” katanya
Namun Asmui tidak dapat menerima alasan itu begitu saja. Apalagi, kata dia, tembok yang tumbang tidak hanya yang dekat dengan parit yang dicuci.
“Saya lihat tembok yang runtuh itu bukan tentang (bagian) yang dicuci paritnya itu saja. Tapi terus yang tidak dekat parit pun runtuh” terangnya.
Lebih lanjut Asmui mengatakan, melihat konstruksi bangunan yang dikerjakan oleh pekerja proyek khususnya pada bagian tembok yang runtuh, dia menilai cara membangun tembok seperti yang dilakukan pekerja tidak tepat diterapkan untuk pembangunan di atas lahan yang berada di wilayah pesisir yang tanahnya cenderung labil.
Padahal kata Asmui, ahli konstruksi yang merencanakan atau merancang proyek itu seharusnya sudah memperhitungkan faktor keadaan tanah yang labil dalam menyusun rancang bangunan proyek itu. Sehingga tumbangnya tembok itu tidak harus terjadi.
“Jadi saya bilang. Ini tembok kamu ini siapa yang bikin bestek. Menurut analisa saya, kalau tembok dibangun sudah satu meter tingginya dengan posisi tegak berdiri, sementara tanahnya labil, ya sudah pasti itu runtuh. Seharusnya dia miring beberapa derajat. Kalau pun tegak berdiri harus ada penyangga. Ada siku-sikunya” ujarnya.
Dikatakan Asmui lagi, mereka selaku penduduk desa yang berada di wilayah pesisir Kabupaten Labuhanbatu itu, sudah sangat berpengalaman soal membangun rumah atau gedung dan pagar maupun bangunan lain yang tepat untuk diterapkan disana.
“Kami warga disini sudah pengalaman. Kalau membangun tembok tegak lurus pasti roboh. Makanya dimiringkan. Kalau pun tegak lurus pakai siku sebagai penyangga” tambahnya.
Mengenai lahan proyek yang berada tepat di pinggir sungai, Asmui mengatakan, pemilihan lokasi itu karena mempertimbangkan kemudahan memperoleh air yang akan diolah untuk dialirkan ke rumah-rumah masyarakat.
Akan tetapi, lagi-lagi Asmui menekankan, lokasi atau lahan proyek bukan alasan sebagai penyebab tumbangnya tembok penahan pada proyek itu. Sebab jika konstruksi yang dilaksanakan sesuai standar dengan telah memperhitungkan karakteristik tanah, maka dipastikan konstruksi akan kuat dan tidak tumbang.
“Soal lahan, pertimbangannya harus dekat sungai bilah karena air sungai yang diolah. Tapi jangankan rawa, laut pun bisa dibangun. Tapi kan standar bangunan nya bagaimana. Kalau bangunannya benar-benar standar tidak ada masalah” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Sumatera Utara, Syafriel Tansier, menanggapi pertanyaan wartawan tentang tumbangnya tembok penahan itu serta apa yang menurutnya menjadi penyebab tumbangnya tembok itu mengatakan, sedang dilakukan pengerjaan kembali.
” Sedang proses pengerjaan kembali” katanya singkat melalui pesan whatsapp, Rabu (26/10/22).(Itp AAT).