Oleh : Zainudin
Paham radikal bisa muncul di mana saja, dan dapat menyerang siapa saja, apalagi paham ini juga menggunakan media sosial untuk menghembuskan paham radikal kepada warganet, dengan harapan menambah jumlah anggota. Pengguna internet tentu saja perlu waspada dan mengedepankan critical thingking ketika bermain media sosial.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa media sosial dapat menjadi alat untuk mencegah serta menangkal radikalisme, hoax dan ujaran kebencian bernuansa SARA. Sebab, era digital saat ini mampu membuka peluang bagi siapapun untuk melakukan segala aktivitas melalui media digital.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Merdeka (Umer) Malang Nawang Warsi, menjelaskan bahwa media sosial dapat dijadikan ladang amal karena mengajak pada kebaikan.
Menurut Nawang, banyak aktivitas dakwah yang kini telah memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Aktivitas berdakwah di ruang digital berkembang seiring dengan banyaknya aplikasi media sosial. Nawang menilai, tidak sedikit para pendakwah yang kini telah memanfaatkan media digital untuk melakukan dakwah. Melalui Chanel Youtube, mereka menyebarkan rekaman aktifitas dakwahnya ke media sosial, seperti Facebook, Instagram hingga aplikasi percakapan.
Aktivitas dakwah di ruang digital, menurut Nawang diharapkan mampu menjadi konter terhadap dampak negatif dan pengaruh buruk atas media sosial. Di antaranya konten yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan pencemaran nama baik, penyebaran hoaks, ujaran kebencian maupun permusuhan berdasarkan SARA.
Praktisi komunikasi Ari Utami mengatakan bahwa di tengah problem banyaknya figur pendakwah yang telah memiliki paradigma dan sikap keberagaman sosial yang eksklusif, inteoleran, bahkan radikal . Tentunya Ideologi Pancasila haruslah menjadi acuan utama.
Ari menilai, sebagai dasar negara falsafah atau pandangan hidup bangsa Indonesia yang digagas para pendiri bangsa, Pancasila sudah final dan harus jadi acuan dan berbangsa dan bernegara.
Gerakan radikal memang bukan berita baru, keberadaannya sudah ada sejak lama di Indonesia, seperti pemberontakan DI TII maupun NII pada masa awal kemerdekaan NKRI.
Hal tersebut tentu menjadi bukti bahwa radikalisme dan terorisme telah menjadi ancaman nyata bagi kedamaian dan keutuhan NKRI, oleh karena itu radikalisme dan terorisme haruslah diberantas hingga ke akar-akarnya.
Penggunaan media sosial juga membuat proses radikalisasi jauh lebih masif dan cepat. Dulunya anak usia belasan agar bisa memiliki peran signifikan dalam sebuah kelompok teror membutuhkan waktu yang tak singkat. Mereka yang tertarik dengan ajaran-ajaran kekerasan belum tentu bertemu dengan kelompok yang sesuai.
Berbagai proses diskusi di media sosial tersebut tentu tidak terlepas dari pantauan kelompok radikal. Mereka yang konsisten terlibat dalam diskusi akan diundang dalam grup yang lebih ekslusif melalui aplikasi WhatsApp atau Telegram.
Orang tua tentu memiliki peran penting dalam mengawasi anaknya ketika dirinya mulai asyik dengan gawai. Jangan sampai generasi muda justru rentan terpapar paham radikal karena mencari sendiri referensi tentang ilmu agama.
Paham radikal ini hadir dengan narasi yang lembut, ideologi ini menyasar kepada orang-orang yang sudah terlampau kecewa dengan pemerintah ataupun sistem demokrasi di Indonesia yang sudah lama diperjuangkan.
Tujuan dari paham radikal ini-pun sudah jelas, yakni munculnya perubahan drastis sampai pendirian negara baru. Untuk mencapai tujuan ini, kaum radikal tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan, seperti teror rumah ibadah atau melukai pejabat secara sengaja. Singkatnya, paham radikal ini menolerir segala bentuk kekerasan untuk mencapai suatu tujuan.
Jika sudah seperti ini, tentu sudah jelas bahwa NKRI harus steril dari paham radikal sampai akar-akarnya. Apalagi jika paham radikal ini tetap bergerak untuk mengganti Pancasila dengan ideologi berbasis agama. Padahal sudah sejak lama Pancasila menjadi ideologi negara yang mampu menyatukan masyarakat Indonesia yang beragam suku, bangsa dan agama.
Jika akar radikalisme masih dibiarkan, tentu dampaknya akan semakin berbahaya di masa-masa selanjutnya. Permusuhan, intoleransi hingga kebencian sesama manusia bisa muncul hanya karena perbedaan.
Sebelumnya Badan Intelijen Negara (BIN) menemukan faktor generasi milenial saat ini amatlah rentan menjadi target utama perekrutan kelompok teroris, lantaran aktifnya generasi milenial dalam menggunakan media sosial sangat mudah mengakses ideologi paham radikal.
Generasi milenial yang kerap menjadi sasaran pemaparan paham radikal adalah remaja berusia 17 sampai 24 tahun yang mudah terpapar dengan akses internet. Kemudian dampaknya, bisa membangun lone wolf atau serangan seorang diri yang merupakan aksi paling memungkinkan terjadi kedepannya.
Terlebih ketika kalangan milenial tenggelam dalam asyiknya gadget, di mana golongan inilah yang masih memiliki kecenderungan untuk mencari jati diri serta eksistensi yang dapat dengan mudah dimasuki paham radikal dengan merebaknya konten-konten di media sosial.
Maraknya potongan dakwah yang diunggah ke platform media sosial, tentu bisa dimanfaatkan dengan baik. Selain itu warganet juga perlu menyadari bahwa paham khilafah tidak bisa tumbuh di Indonesia.
Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini