Oleh: Rio Ferdinand
Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha sebagai bentuk kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT. Idul Adha, atau yang juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, bukan hanya sebatas penyembelihan hewan ternak. Lebih dari itu, ibadah kurban menyimpan makna mendalam yang menyentuh aspek spiritual, sosial, hingga moralitas umat.
Drs. H. Nurul Yaqin Ishaq dalam khutbah Idul Adha di Masjid An-Nahdlah PBNU menyampaikan bahwa ibadah kurban adalah refleksi dari semangat untuk bekerja keras, berkorban, dan peduli terhadap sesama. Menurutnya, sekaya apa pun seseorang, tanpa motivasi untuk berkurban, ia tidak akan tergerak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa kurban bukan semata perkara materi, melainkan soal niat, semangat, dan kesungguhan.
Bahkan kisah nenek pemulung yang mampu berkurban karena tekad dan kerja kerasnya menunjukkan bahwa ibadah ini bisa dijangkau siapa saja yang benar-benar memiliki motivasi dan keimanan.
Dimensi Keimanan dan Kepatuhan
Kurban menjadi bentuk nyata dari ketaatan manusia kepada Allah. Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi simbol tertinggi dari kepatuhan, cinta, dan keikhlasan. Nabi Ibrahim rela mengorbankan anak yang sangat dicintainya karena perintah Allah, dan Ismail pun menerimanya dengan penuh ketundukan.
Dari kisah itu, kita belajar bahwa berkurban adalah wujud ketaatan yang menuntut keikhlasan serta kekuatan iman dalam menghadapi ujian hidup.
Berkurban sebagai Jalan Menuju Kesalehan Sosial
Idul Adha adalah momentum penguatan nilai-nilai sosial di tengah masyarakat. Pembagian daging kurban kepada fakir miskin adalah bentuk nyata solidaritas dan empati sosial. Bagi sebagian orang, daging kurban mungkin menjadi satu-satunya hidangan istimewa dalam setahun. Karena itu, kurban bukan hanya urusan pribadi antara hamba dan Tuhannya, tetapi juga sarana memperkuat jalinan sosial di tengah masyarakat.
Semangat inilah yang seharusnya dipupuk oleh seluruh elemen bangsa, termasuk aparatur negara seperti para insan Adhyaksa. Melalui doktrin Tri Krama Adhyaksa—Satya, Adhi, dan Wicaksana—semangat pengabdian dan pengorbanan demi kepentingan umum menjadi bagian dari etos kerja sehari-hari.
Kurban dalam Perspektif Kehidupan Modern
Berkurban tidak harus selalu dimaknai dalam bentuk penyembelihan hewan. Dalam konteks kekinian, kurban bisa diartikan sebagai pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, dan harta demi kemaslahatan orang banyak. Seperti yang diungkap dalam sebuah hadits: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu, berikanlah ilmunya. Barangsiapa yang mempunyai harta, berikanlah hartanya. Barangsiapa yang mempunyai tenaga, maka berikanlah tenaganya.”
Ini menunjukkan bahwa semangat berkurban dapat diwujudkan dalam bentuk kontribusi nyata di berbagai bidang kehidupan.
Keutamaan Ibadah Kurban
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada Hari Raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT daripada menyembelih hewan kurban…” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan bahwa kurban memiliki keutamaan yang luar biasa. Bahkan sebelum darah hewan menyentuh tanah, pahala kurban telah diterima oleh Allah SWT.
Kurban juga diyakini menjadi tunggangan di hari kiamat, dan menjadi penyelamat dari keburukan dunia dan akhirat.
Penutup: Kurban sebagai Spirit Perubahan
Idul Adha mengajak kita untuk merefleksikan kembali sejauh mana kita telah berkorban untuk kepentingan orang lain. Apakah kita telah mampu menundukkan ego pribadi demi kepentingan bersama? Apakah kita telah cukup peka terhadap penderitaan orang di sekitar?
Berkurban bukan hanya sekadar menyembelih, tapi tentang bagaimana kita mengikhlaskan sesuatu yang kita cintai demi kebaikan yang lebih besar. Dari semangat ini, lahirlah karakter manusia yang ikhlas, peduli, dan siap berjuang demi kebaikan umat.
Penulis Civitas Akademik Program Studi Penerbitan (Jurnalistik) Politeknik Negeri Jakarta







