Opini  

Pemerintah Pastikan Tidak Ada Konflik Kepentingan dalam Posisi Wamen Jadi Komisaris BUMN

Oplus_0

Oleh Arif Nugroho 

Penempatan para wakil menteri (Wamen) sebagai komisaris di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir. Kebijakan ini kembali mencuat setelah sejumlah penunjukan resmi diumumkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) masing-masing perusahaan negara. Namun demikian, pemerintah memastikan bahwa langkah tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan tidak menimbulkan konflik kepentingan, selama dijalankan dengan profesionalisme dan akuntabilitas yang tinggi.

Hingga pertengahan Juli 2025, tercatat sebanyak 30 Wamen aktif merangkap jabatan sebagai komisaris atau bahkan komisaris utama di berbagai BUMN strategis. Praktik ini bukan hal baru dalam ekosistem pemerintahan Indonesia, tetapi kali ini mendapat perhatian lebih besar dari publik seiring dengan meningkatnya tuntutan transparansi dan akuntabilitas di ruang-ruang publik. Pemerintah memandang kebijakan ini bukan sekadar pengangkatan biasa, melainkan sebuah bentuk penugasan lintas sektor yang bersifat strategis.

Langkah ini sejalan dengan semangat sinergi antara eksekutif dan korporasi negara yang tengah dihadapkan pada tantangan global yang kompleks. Pemerintah berupaya menciptakan tata kelola yang lebih responsif dan adaptif melalui keterlibatan langsung para pejabat tinggi negara dalam pembenahan internal perusahaan BUMN. Dengan begitu, nilai strategis dan peran ganda para Wamen sebagai jembatan antara birokrasi dan dunia usaha menjadi lebih nyata.

Secara hukum, tidak ada satu pun aturan yang melarang Wamen untuk merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80 Tahun 2019, yang secara eksplisit hanya membatasi rangkap jabatan bagi para menteri dan pejabat setingkat menteri. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) Hasan Nasbi menyatakan bahwa keputusan MK tersebut tidak memuat larangan terhadap para wakil menteri untuk menjabat sebagai komisaris. Amar putusan tersebut bahkan tidak mencantumkan klausul pelarangan bagi posisi wakil menteri.

Penegasan ini penting untuk menghindari mispersepsi publik terhadap kebijakan rangkap jabatan tersebut. Menurut Hasan, regulasi yang berlaku memang secara ketat membatasi pejabat utama dalam kabinet untuk tidak rangkap jabatan, termasuk Kepala PCO dan Menteri Sekretaris Negara. Namun aturan yang sama tidak diberlakukan terhadap para wakil, yang dalam struktur birokrasi memiliki kewenangan terbatas dan lebih bersifat pelaksana kebijakan teknis. Oleh karena itu, penempatan Wamen di posisi komisaris bukanlah bentuk pelanggaran, melainkan penugasan yang sah secara hukum.

Dari sisi legislatif, pandangan yang sama juga disuarakan oleh anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron. Menurutnya, tidak ada undang-undang yang melarang wakil menteri untuk duduk sebagai komisaris BUMN. Yang menjadi penekanan utama, kata Herman, adalah aspek integritas dan penghindaran konflik kepentingan. Selama penugasan tersebut tidak menimbulkan benturan kepentingan dan justru memberi kontribusi positif terhadap peningkatan performa BUMN, maka tidak ada alasan untuk menolaknya.

Kehadiran para wakil menteri dalam jajaran dewan komisaris BUMN diharapkan mampu meningkatkan efektivitas pengawasan serta mendorong transformasi kinerja perusahaan negara ke arah yang lebih baik. Dengan pemahaman atas kebijakan strategis di tingkat kementerian, para Wamen dapat membawa perspektif yang relevan dan menyeluruh dalam proses pengambilan keputusan korporasi. Hal ini sangat penting, terutama ketika BUMN dituntut untuk mampu bersaing di kancah global dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun demikian, tugas ganda ini tentu menuntut tanggung jawab yang tinggi dari para pejabat terkait. Profesionalisme dan komitmen dalam menjalankan kedua peran secara seimbang menjadi syarat utama keberhasilan kebijakan ini. Pemerintah juga perlu memastikan adanya mekanisme pengawasan internal dan publik yang ketat untuk menilai kinerja para Wamen yang merangkap jabatan, sehingga akuntabilitas tetap terjaga.

Transparansi menjadi kunci utama dalam menjaga kepercayaan publik terhadap kebijakan ini. Proses penunjukan harus dilakukan secara terbuka, dengan kriteria yang jelas dan pertimbangan yang objektif. Selain itu, evaluasi berkala terhadap efektivitas rangkap jabatan ini perlu dilakukan, guna mengukur sejauh mana kontribusi para Wamen terhadap kemajuan BUMN yang mereka emban.

Alih-alih memandangnya sebagai potensi konflik kepentingan, penugasan ini seharusnya dilihat sebagai upaya integrasi kebijakan lintas sektor. Dalam era pemerintahan yang dituntut serba cepat dan tepat sasaran, kolaborasi yang erat antara regulator dan pelaku korporasi menjadi kebutuhan mendesak. Penempatan Wamen di kursi komisaris dapat menjadi jembatan koordinasi yang kuat, mempercepat proses sinkronisasi kebijakan, dan mendukung agenda reformasi di tubuh BUMN.

Pada akhirnya, tantangan utama bukan pada aspek legalitas, tetapi pada pelaksanaan dan integritas individu yang menjabat. Kinerja para Wamen sebagai komisaris harus mampu meningkatkan daya saing perusahaan negara, memperkuat akuntabilitas publik, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Jika semua elemen tersebut dapat diwujudkan, maka penempatan Wamen sebagai komisaris BUMN bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga tepat secara strategis. Pemerintah telah menunjukkan bahwa langkah ini dilakukan dalam kerangka besar penguatan tata kelola, dan bukan sekadar akomodasi politik. 

 Penulis adalah seorang pengamat kebijakan publik