Oleh: Maria Yoman
Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Papua bukan hanya sekadar agenda pemenuhan nutrisi anak-anak, tetapi merupakan representasi dari komitmen pemerintah dalam membangun sumber daya manusia (SDM) dari akar rumput. Melalui pendekatan yang bersifat langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, MBG menjadi bagian dari strategi besar pembangunan berkeadilan di kawasan timur Indonesia. Papua, sebagai wilayah yang kerap menghadapi tantangan akses dan ketimpangan pembangunan, ditempatkan sebagai prioritas dalam pelaksanaan program ini.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menyuarakan urgensi keberlanjutan program MBG di Papua. Ia menilai hambatan-hambatan yang muncul sejauh ini lebih banyak bersifat teknis, seperti perdebatan tentang siapa yang bertugas di dapur. Namun, ia menegaskan bahwa persoalan seperti itu tidak semestinya menghambat pelaksanaan program. Fokus utama, menurutnya, harus tetap pada tercapainya tujuan besar program, yakni penyediaan gizi seimbang bagi generasi muda Papua. Dalam konteks wilayah yang rawan konflik dan memiliki kondisi sosial yang kompleks, Pigai menilai program MBG justru memiliki potensi untuk menjadi katalis rekonsiliasi dan integrasi pembangunan.
Komitmen pemerintah daerah pun tidak diragukan. Di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, pelaksanaan MBG sudah mulai digerakkan dengan pendekatan yang sistematis. Wakil Bupati Maybrat, Ferdinando Solossa menjelaskan bahwa pemerintah daerah telah melakukan pemetaan untuk menjangkau seluruh wilayah administratif, mencakup 24 distrik, 259 kampung, dan satu kelurahan. Empat titik pelaksanaan telah dipilih, dua di antaranya bahkan telah selesai melalui proses pelepasan lahan, sementara dua lainnya sedang dalam tahap koordinasi lebih lanjut. Langkah ini menunjukkan adanya keseriusan pemerintah darah untuk mengawal agenda nasional agar dapat berjalan di tingkat akar rumput.
Pelaksanaan MBG juga tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan program-program lain yang dicanangkan pemerintah pusat di Papua seperti pembangunan jalan strategis, pelayanan kesehatan dasar, pendirian Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda, hingga penguatan ekonomi melalui Koperasi Merah Putih. Semua ini mencerminkan sebuah pendekatan lintas sektor yang diarahkan untuk membangun Papua secara menyeluruh. Kementerian HAM sendiri tengah fokus membuka akses infrastruktur di kawasan-kawasan rawan konflik seperti Maybrat, Nduga, Intan Jaya, dan Pegunungan Bintang, guna memastikan bahwa distribusi pembangunan tidak lagi timpang.
Di sisi lain, pelaksanaan program MBG juga didampingi oleh upaya monitoring dan evaluasi yang serius. Salah satunya tercermin dari pelatihan petugas lapangan untuk pelaksanaan Survei Baseline Program MBG di Kabupaten Kepulauan Yapen. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini, bertujuan memastikan bahwa seluruh proses pengumpulan data berlangsung akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Koordinator Pelatihan Survei Baseline Program MBG, Ramadhan Arif Hidayat, menjelaskan bahwa pelatihan ini membekali petugas dengan metodologi dan instrumen survei yang digunakan dalam baseline yang akan dilakukan pada bulan Agustus 2025.
Survei ini merupakan bagian dari mekanisme evaluatif untuk menilai dampak program MBG terhadap berbagai aspek penting, seperti kesehatan anak, tingkat pendidikan, serta pengeluaran konsumsi rumah tangga. Dengan pendekatan kuantitatif yang terukur, pemerintah berusaha memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan dari anggaran negara benar-benar berdampak bagi masyarakat penerima manfaat. Jika ditemukan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga membaik atau kebutuhan gizi anak-anak meningkat, maka program ini dapat dijadikan model untuk replikasi di daerah lain.
Langkah-langkah ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan MBG tidak dilakukan secara sembarangan. MBG dirancang, dijalankan, dan dievaluasi secara holistik, dengan memperhitungkan sensitivitas lokal dan dukungan infrastruktur. Program ini juga menjadi instrumen kebijakan yang membawa misi lebih besar, yaitu pengurangan stunting dan kemiskinan ekstrem, dua problem utama yang selama ini menghambat pembangunan SDM di kawasan timur Indonesia.
Keberhasilan pelaksanaan MBG di Papua tidak hanya bergantung pada kesiapan birokrasi, tetapi juga pada keterlibatan masyarakat dan aktor-aktor lokal. Dalam hal ini, peran tokoh masyarakat, kepala kampung, dan pemuka agama menjadi penting untuk mendorong penerimaan terhadap program. Pemerintah juga perlu terus memperkuat komunikasi publik agar program ini tidak dipersepsikan sebagai intervensi sepihak, melainkan sebagai hasil dari dialog konstruktif antara negara dan rakyatnya.
Kehadiran program MBG di tengah masyarakat Papua juga membawa pesan simbolis bahwa negara hadir di wilayah-wilayah yang selama ini memiliki akses terbatas. Pemerintah tidak hanya memberikan janji, tetapi menawarkan solusi konkret melalui program-program yang menyentuh kebutuhan paling dasar. Di tengah tantangan geografis dan dinamika sosial politik yang kompleks, pelaksanaan program MBG dapat menjadi bukti bahwa kebijakan nasional mampu bekerja secara efektif di daerah terpencil sekalipun, asalkan dijalankan dengan pendekatan yang inklusif, adaptif, dan berbasis bukti.
Dengan komitmen pemerintah pusat dan daerah, serta didukung pelibatan masyarakat dan pendekatan evaluatif yang solid, program Makan Bergizi Gratis di Papua berpotensi menjadi model intervensi sosial yang tidak hanya menyelesaikan masalah jangka pendek, tetapi juga membuka jalan bagi terwujudnya generasi Papua yang sehat, cerdas, dan siap bersaing. Di sinilah letak pentingnya menjadikan MBG bukan sekadar program gizi, melainkan sebagai bagian dari fondasi pembangunan nasional yang menjangkau semua anak bangsa, tanpa kecuali.
Pemerhati Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat Papua