Opini  

Pemerintah Tingkatkan Pengawasan Digital untuk Berantas Peredaran Beras Oplosan

Oplus_0

Oleh Rahmat Srigati Darmono 

Praktik pengoplosan beras merupakan salah satu bentuk kecurangan dalam distribusi pangan yang sangat merugikan konsumen. Tidak hanya mengurangi kualitas beras yang dikonsumsi masyarakat, tindakan ini juga mengganggu ekosistem pasar dan menurunkan efektivitas berbagai kebijakan ketahanan pangan yang telah dirancang dengan matang oleh pemerintah. Karena itu, langkah peningkatan pengawasan melalui sistem digital menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditunda lagi. Pemerintah saat ini menunjukkan keseriusannya untuk memberantas peredaran beras oplosan dengan mengembangkan pendekatan pengawasan yang lebih canggih, terintegrasi, dan berbasis teknologi.

Perum Bulog sebagai ujung tombak distribusi cadangan beras pemerintah terus memperkuat sistem penyalurannya. Direktur Utama Perum Bulog, Ahmad Rizal Ramdhani, menjelaskan bahwa kini sistem penyaluran bantuan pangan dan beras untuk stabilisasi pasokan serta harga pangan (SPHP) telah ditopang dengan teknologi digital. Inovasi ini hadir dalam bentuk aplikasi bantuan pangan yang mewajibkan semua penerima manfaat masuk dalam daftar resmi Dinas Sosial. Setiap warga yang memenuhi syarat akan menerima undangan berupa secarik kertas dengan kode batang (barcode) yang kemudian di-scan dan diverifikasi dengan identitas KTP. Hanya setelah validasi ini selesai, bantuan berupa beras dapat diserahkan.

Langkah serupa diterapkan pada distribusi beras SPHP. Dalam hal ini, Perum Bulog memanfaatkan aplikasi Klik SPHP yang mengatur secara ketat mekanisme distribusi ke pengecer. Para pengecer wajib melakukan pendaftaran lengkap dengan KTP dan surat izin usaha, kemudian diverifikasi oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat. Bulog menetapkan batas maksimal pembelian dua ton per pengecer serta mewajibkan mereka menandatangani surat pernyataan yang berisi komitmen untuk tidak membuka kemasan, tidak menjual lebih dari dua kemasan per pembeli, dan bersedia menerima sanksi apabila melanggar ketentuan.

Upaya ini merupakan bentuk konkret dari digitalisasi tata kelola pangan yang bertujuan menciptakan akuntabilitas dalam proses distribusi. Dengan adanya sistem berbasis aplikasi, setiap transaksi tercatat dengan baik, memungkinkan pelacakan barang secara real-time, dan menghindarkan dari manipulasi data. Peredaran beras oplosan yang selama ini sulit dideteksi karena lemahnya pengawasan konvensional, kini dapat dicegah sejak dari titik distribusi awal.

Namun, upaya digitalisasi tidak bisa berdiri sendiri. Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menilai bahwa sistem pengawasan perlu diperluas ke rantai pasok secara keseluruhan, mulai dari petani hingga ke tangan konsumen. Ia merekomendasikan penggunaan teknologi pelacakan berbasis blockchain agar distribusi beras dapat diawasi dengan lebih transparan, efisien, dan tidak bisa dimanipulasi. Teknologi ini mampu mencatat setiap pergerakan beras, memastikan asal-usulnya, dan memberikan kepercayaan bagi konsumen bahwa beras yang mereka beli adalah produk asli dan sesuai standar mutu.

Eliza juga menekankan pentingnya sinergi antar instansi dalam menangani peredaran beras oplosan. Menurutnya, isu ini tidak hanya berkaitan dengan Kementerian Pertanian sebagai penghasil produksi, tetapi juga Kementerian Perdagangan yang mengatur tata niaga dan distribusinya. Oleh sebab itu, koordinasi lintas kementerian/lembaga, khususnya di bawah Kementerian Koordinator Bidang Pangan, menjadi krusial dalam harmonisasi kebijakan dan pelaksanaan pengawasan.

Di sisi lain, penegakan hukum terhadap pelaku pengoplosan juga perlu diperkuat. Eliza mendorong penerapan sanksi administratif maupun pidana yang tegas seperti pencabutan izin usaha, denda besar, pelarangan distribusi, bahkan pembekuan aset. Ia juga menyarankan adanya regulasi standardisasi beras premium yang lebih ketat, mencakup pengujian kadar air, bentuk butir, dan kepatuhan terhadap takaran. Sertifikasi mutu yang melibatkan lembaga independen bisa dijadikan sebagai syarat wajib bagi produsen beras premium, untuk menjamin kualitas produk di pasar.

Kepala Pusat Makroekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufiqurragman, menilai bahwa digitalisasi distribusi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) merupakan langkah strategis yang tidak hanya memperkuat pengawasan, tapi juga membuka ruang partisipasi publik. Menurutnya, penggunaan QR code atau barcode pada setiap kemasan beras akan memungkinkan masyarakat melakukan pelacakan secara langsung. Ini menciptakan budaya pengawasan kolektif sekaligus membangun transparansi di seluruh rantai pasok.

Rizal juga menggarisbawahi perlunya transformasi pendekatan pengawasan dari yang bersifat reaktif menjadi proaktif dan sistematis. Dengan sistem pengawasan cerdas yang berbasis data dan forensik digital, seluruh anomali dalam distribusi bisa dideteksi secara otomatis dan cepat ditindaklanjuti. Ia menyarankan adanya audit berkala terhadap mitra Bulog, serta pembentukan daftar hitam (blacklist) untuk pelaku usaha yang terbukti melakukan kecurangan.

Dengan serangkaian inovasi digital dan koordinasi antar lembaga yang semakin kuat, Indonesia berada di jalur yang tepat dalam memberantas peredaran beras oplosan. Tantangan yang masih ada kini adalah konsistensi implementasi di lapangan serta komitmen seluruh pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga pelaku usaha dan masyarakat, untuk menjaga integritas sistem distribusi pangan nasional. Pengawasan berbasis teknologi bukan hanya alat bantu, tetapi fondasi utama menuju tata kelola pangan yang transparan, adil, dan berkelanjutan.

Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Pangan Nasional