Oleh : Haviful Adi
Upaya merevisi Undang-Undang Penyiaran menunjukkan langkah strategis negara dalam menjawab tantangan dunia penyiaran yang kian kompleks di era digital. Komisi I DPR RI mengambil peran sentral dalam menyempurnakan regulasi penyiaran dengan mengedepankan pendekatan inklusif, melalui pelibatan para pakar dan akademisi yang memiliki kompetensi mumpuni di bidang hukum dan komunikasi. Langkah ini mencerminkan keseriusan parlemen untuk melahirkan undang-undang yang tidak hanya sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, tetapi juga berpihak pada kepentingan publik secara adil.
Rapat dengar pendapat yang dilaksanakan di Gedung Nusantara II, Kompleks DPR, pada 21 Juli 2025 lalu menjadi panggung penting bagi penyusunan RUU Penyiaran. Dalam forum tersebut, Komisi I DPR mengundang sejumlah tokoh akademik yang berkompeten, yakni Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Prof. Dr. rer. Soc. Masduki, dan Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia DR. Ignatius Haryanto Djoewanto. Ketiga tokoh tersebut membawa perspektif ilmiah dan pengalaman panjang dalam bidangnya masing-masing, yang diharapkan dapat memperkaya substansi rancangan regulasi penyiaran nasional.
Komitmen Komisi I untuk bersikap terbuka dan melibatkan pemikiran lintas disiplin ilmu patut diapresiasi sebagai bentuk perwujudan demokrasi deliberatif dalam proses legislasi. Terlebih, revisi UU Penyiaran ini tidak sekadar bersifat kosmetik, melainkan menyasar perubahan mendasar atas sistem penyiaran nasional yang kini telah berkembang dari model konvensional menjadi multiplatform. Situasi ini menuntut adanya equal playing field atau kesetaraan perlakuan bagi semua pelaku industri penyiaran, baik lembaga penyiaran tradisional maupun platform digital yang semakin dominan dalam menyebarkan konten kepada publik.
Penyusunan regulasi yang mampu mengatur sistem penyiaran multiplatform adalah keniscayaan agar keadilan dan kepastian hukum tetap terjaga. Dalam konteks ini, pelibatan pakar hukum seperti Prof. Dr. Ahmad M. Ramli memberikan jaminan bahwa aspek konstitusional dan yuridis dari undang-undang tersebut akan dirumuskan secara cermat. Sementara pandangan dari pakar komunikasi seperti Prof. Masduki dan Dr. Ignatius Haryanto menjadi penting untuk memastikan bahwa substansi regulasi tidak menghambat kebebasan berekspresi, sekaligus tetap menjunjung etika penyiaran dan tanggung jawab sosial media.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengungkapkan bahwa revisi RUU Penyiaran ini merupakan proses panjang yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Perjalanan tersebut mencerminkan betapa dinamisnya tantangan yang dihadapi dalam membangun tata kelola penyiaran yang efektif. Dave menjelaskan bahwa setidaknya sudah terjadi tiga kali perubahan substansi dalam draf RUU tersebut, menyesuaikan dengan dinamika regulasi seperti hadirnya UU Cipta Kerja yang menuntut harmonisasi berbagai aturan sektoral, termasuk di bidang penyiaran dan telekomunikasi.
Langkah integratif ini menunjukkan bahwa Komisi I DPR tidak semata-mata memproduksi regulasi yang statis, tetapi berupaya menjadikan undang-undang sebagai instrumen responsif terhadap perubahan zaman. Dalam konteks globalisasi media, undang-undang yang dilahirkan tidak bisa lagi bertumpu pada skema pengawasan konvensional, tetapi harus mampu mengadopsi prinsip partisipasi publik, perlindungan konsumen, dan jaminan keberagaman informasi sebagai bagian dari hak warga negara.
Pelibatan para akademisi dalam pembahasan ini juga menjawab kritik yang selama ini muncul dari kalangan masyarakat sipil, yang menyoroti potensi regulasi penyiaran menjadi alat pembatas kebebasan berekspresi jika tidak disusun secara inklusif. Oleh karena itu, keterbukaan Komisi I dalam mendengar masukan dari berbagai pemangku kepentingan perlu dijadikan standar baru dalam setiap pembentukan undang-undang, khususnya yang bersentuhan langsung dengan ruang publik dan hak-hak digital masyarakat.
RUU Penyiaran yang sedang digodok ini menjadi kunci bagi terciptanya ekosistem media yang sehat, kompetitif, dan berkeadilan. Dalam menghadapi disrupsi teknologi dan derasnya arus informasi global, negara perlu hadir dengan perangkat hukum yang tidak hanya membatasi, tetapi juga memfasilitasi tumbuhnya media yang berkualitas dan profesional. Keseimbangan antara kontrol dan kebebasan inilah yang menjadi tantangan utama, yang hanya bisa dicapai jika penyusun undang-undang membuka ruang dialog luas dengan para ahli dan masyarakat.
Harapan besar kini tertumpu pada hasil akhir revisi RUU Penyiaran yang tengah disusun. Komitmen legislatif untuk menuntaskannya di periode ini menjadi sinyal positif bahwa negara serius menjaga ruang publik dari potensi penyalahgunaan media tanpa mengabaikan prinsip kebebasan berekspresi. Dengan dukungan para pakar yang memiliki integritas dan keahlian tinggi, maka sangat terbuka peluang bagi RUU ini untuk lahir sebagai regulasi yang progresif, adaptif, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Di tengah arus digitalisasi yang semakin masif, regulasi penyiaran harus mampu menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan arah. Keberadaan undang-undang yang kuat dan legitimate menjadi fondasi utama untuk melindungi masyarakat dari disinformasi, memperkuat daya saing industri media nasional, dan menciptakan tatanan penyiaran yang beradab. Maka dari itu, partisipasi pakar dalam proses legislasi bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari komitmen negara membangun peradaban informasi yang sehat dan inklusif.
Penulis adalah Pengamat Isu Strategis