Oleh : David Dwira
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru disahkan oleh DPR RI pada Rapat Paripurna ke-18 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026 menandai lahirnya fase baru dalam reformasi sistem peradilan pidana Indonesia. Langkah ini bukan sekadar pembaruan teknis terhadap regulasi yang telah berusia lebih dari empat dekade, tetapi mencerminkan keseriusan negara dalam memperkuat supremasi hukum, meningkatkan perlindungan warga negara, serta memastikan proses hukum dapat berjalan lebih transparan, akuntabel, dan relevan dengan tantangan demokrasi modern, termasuk dalam penyelenggaraan Pilkada yang membutuhkan kepastian hukum yang kuat.
Keputusan politik ini memperlihatkan bahwa negara menempatkan pembenahan sistem hukum sebagai fondasi utama dalam menjaga stabilitas dan legitimasi proses demokrasi, terutama di tengah dinamika politik lokal yang semakin kompleks. Pembaruan KUHAP menjadi sorotan karena regulasi sebelumnya dinilai tidak lagi mampu menjawab kebutuhan zaman.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan bahwa revisi ini merupakan tonggak penting yang telah melalui proses pembahasan panjang, melibatkan berbagai masukan publik, dan diarahkan untuk menghadirkan keadilan substansial bagi setiap warga negara. Ia memandang bahwa keberadaan KUHAP baru akan memperkuat posisi hukum acara pidana yang selama ini menjadi instrumen utama dalam memastikan proses penegakan hukum berjalan sesuai prinsip due process of law. Penegasan tersebut menunjukkan bahwa negara memberi perhatian besar pada perlindungan hak-hak individu, namun tetap menempatkan kepentingan publik dan efektivitas penegakan hukum sebagai prioritas utama.
Salah satu perubahan fundamental dalam KUHAP baru adalah penegasan bahwa penahanan tidak lagi didasarkan pada subjektivitas penyidik, melainkan indikator objektif yang terukur. Reformasi ini penting untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan serta memastikan bahwa proses hukum tidak digunakan secara sewenang-wenang terhadap masyarakat. Di saat yang sama, kewajiban penggunaan rekaman video dalam proses pemeriksaan menjadi terobosan penting untuk memastikan tindakan intimidasi atau praktik penyiksaan dapat dicegah secara sistematis. Ketentuan ini mencerminkan komitmen negara terhadap prinsip hak asasi manusia yang tidak dapat ditawar.
Di sisi lain, mekanisme penyitaan dan penggeledahan kini diperkuat melalui peraturan yang lebih ketat dan transparan. Setiap tindakan aparat harus memiliki dasar hukum yang jelas, mekanisme kontrol yang dapat diaudit, serta pengawasan yang lebih ketat. Penguatan peran advokat juga menjadi bagian dari reformasi ini, dengan adanya penegasan kembali hak pendampingan hukum bagi tersangka maupun saksi. Langkah-langkah ini memperlihatkan perubahan paradigma sistem peradilan Indonesia yang kini lebih menjunjung keterbukaan, akuntabilitas, dan perlindungan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses hukum.
Kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, perempuan, dan lansia juga mendapatkan perhatian lebih spesifik dalam KUHAP baru. Komisi III memastikan bahwa aturan teknis penyidikan dan pemeriksaan harus mempertimbangkan kebutuhan khusus serta menjamin perlakuan yang adil dan manusiawi. Pendekatan ini penting untuk memastikan bahwa hukum hadir secara inklusif dan tidak memunculkan bias terhadap kelompok tertentu. Selain itu, penguatan mekanisme praperadilan dan keadilan restoratif menjadi fondasi baru dalam penyelesaian perkara yang lebih proporsional dan mengedepankan pemulihan.
Dari perspektif akademik, Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI) Abdul Chair Ramadhan menyampaikan penilaiannya bahwa KUHAP baru memiliki unsur kepastian hukum serta keadilan prosedural dan substansial yang kuat. Ia menilai bahwa substansi dalam RUU KUHAP telah melalui kajian publik yang komprehensif dan dirancang untuk menghadirkan sistem peradilan pidana yang lebih optimal. Pandangannya menekankan bahwa penundaan pembaruan KUHAP justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan masyarakat, terutama dalam konteks penyelesaian perkara yang membutuhkan aturan hukum yang lebih modern. Kehadirannya sebagai suara akademisi menguatkan bahwa pembaruan KUHAP merupakan langkah strategis yang tepat dan tidak seharusnya ditunda.
Pengesahan KUHAP baru juga memiliki implikasi strategis terhadap penyelenggaraan Pilkada. Setiap momentum pemilihan kepala daerah membutuhkan instrumen hukum yang mampu mencegah penyalahgunaan proses hukum untuk kepentingan politik, menghindari kriminalisasi kandidat atau relawan, sekaligus memastikan bahwa seluruh warga negara dapat menggunakan hak pilihnya tanpa tekanan hukum yang tidak proporsional. Kehadiran KUHAP yang lebih objektif dan transparan akan memperkecil ruang gesekan politik yang dapat menciderai integritas Pilkada. Di tengah meningkatnya kompetisi politik lokal, kepastian hukum adalah prasyarat utama demi menjalankan Pemilu yang damai, jujur, dan berkeadilan.
Keberadaan mekanisme praperadilan yang lebih kuat, pengawasan ketat terhadap proses penahanan, serta perlindungan bagi kelompok rentan dapat menjadi penyangga penting bagi proses demokrasi lokal. Dengan demikian, Pilkada tidak hanya menjadi ajang kontestasi politik, tetapi juga wujud kematangan negara dalam menyediakan ruang demokrasi yang bebas dari manipulasi hukum. Reformasi ini juga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum, yang selama ini sering menjadi sorotan dalam penyelenggaraan kontestasi politik di tingkat daerah.
Pada akhirnya, pembaruan KUHAP merupakan investasi jangka panjang bagi kualitas demokrasi dan masa depan penegakan hukum Indonesia. Reformasi ini menegaskan bahwa sistem peradilan pidana tidak boleh tertinggal dari perkembangan masyarakat, teknologi, dan dinamika politik. Dalam konteks Pilkada yang menuntut kepastian hukum, transparansi, dan perlindungan terhadap hak politik warga negara, KUHAP baru diharapkan menjadi instrumen yang menopang terciptanya kompetisi yang sehat dan legitimasi pemerintahan daerah yang kuat. Dengan demikian, langkah DPR RI bukan sekadar revisi regulasi, tetapi fondasi penting bagi perjalanan demokrasi Indonesia ke depan.
Penulis adalah Pengamat Hukum







