Oleh : Gavin Asadit
Bantuan sosial (bansos) kini tidak lagi dilihat sebagai beban anggaran negara, tetapi telah berubah menjadi instrumen strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif. Pernyataan ini ditegaskan oleh Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yusuf, dalam sebuah diskusi publik pada akhir Juni 2025.
Arief menjelaskan bahwa bansos harus dipahami sebagai bentuk investasi sosial yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Menurutnya, melalui bantuan yang disalurkan secara tepat dan terukur, masyarakat miskin dan rentan dapat terangkat dari jerat kemiskinan, yang pada akhirnya mendorong konsumsi rumah tangga, memperluas pasar domestik, dan meningkatkan produktivitas nasional.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 yang mencapai Rp 3.621,3 triliun, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 503,2 triliun atau 13,9 persen untuk perlindungan sosial, termasuk program-program bansos seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan bantuan tunai langsung.
Selain itu, anggaran kesehatan mendapat porsi Rp 218,5 triliun atau sekitar 6 persen dari total belanja negara. Pemerintah juga mengeluarkan paket stimulus pada triwulan kedua tahun ini dengan total nilai Rp 24,4 triliun. Dari jumlah itu, Rp 11,93 triliun dialokasikan khusus untuk penebalan bansos, Rp 10,72 triliun untuk subsidi upah, Rp 0,94 triliun untuk diskon transportasi, dan Rp 0,65 triliun untuk subsidi tarif tol. Pemerintah berharap dengan langkah ini, daya beli masyarakat dapat terjaga dan konsumsi rumah tangga tetap tumbuh di tengah tekanan ekonomi global.
Namun, sejumlah ekonom mengingatkan bahwa peningkatan anggaran bansos belum tentu memberikan dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi jika tidak dibarengi dengan reformasi struktural dan efektivitas program. Mereka menilai bahwa bansos harus tepat sasaran dan bersinergi dengan program pemberdayaan ekonomi lainnya agar tidak menciptakan ketergantungan, melainkan menjadi jalan menuju kemandirian masyarakat miskin. Dalam hal ini, pemanfaatan data yang akurat dan digitalisasi penyaluran bansos menjadi aspek penting yang harus diperkuat.
Per 9 Juli 2025, Kementerian Keuangan mencatat bahwa penyaluran bansos sembako telah mencapai Rp 20,26 triliun untuk 18,2 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM), atau sekitar 97,22 persen dari target nasional sebesar 18,8 juta KPM. Setiap KPM menerima bantuan sebesar Rp 200 ribu per bulan secara tunai, yang dimaksudkan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan dasar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan bahwa bansos bukan hanya instrumen kesejahteraan, tetapi juga perlindungan ekonomi yang mendorong konsumsi domestik sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan nasional. Sebelumnya, hingga akhir Mei 2025, total realisasi belanja bansos telah mencapai Rp 48,8 triliun atau sekitar 32,6 persen dari target tahunan. Meski lebih lambat dibandingkan tahun lalu yang mencapai 46,3 persen pada periode yang sama, pemerintah memastikan akselerasi dilakukan pada semester kedua untuk menutup ketertinggalan.
Mulai Juni hingga Juli 2025, pemerintah melakukan penambahan nilai bansos. Para penerima kini memperoleh Rp 1 juta untuk dua bulan, meningkat dari sebelumnya Rp 600 ribu. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi menstimulasi ekonomi rakyat dan menekan dampak inflasi terhadap kelompok miskin. Menteri Sosial menyatakan bahwa penerima bansos berasal dari desil 1 hingga desil 4 dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Sistem pemutakhiran data memungkinkan penyesuaian daftar penerima secara otomatis, termasuk penghapusan nama yang dianggap telah meningkat kesejahteraannya. Masyarakat yang merasa berhak namun tidak terdaftar tetap memiliki hak untuk melakukan pengaduan dan verifikasi ulang melalui jalur resmi.
Pemerintah juga terus mengembangkan digitalisasi bansos sebagai upaya memperkuat akuntabilitas dan efisiensi penyaluran. Pada awal Juli 2025, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, meninjau langsung pelaksanaan proyek percontohan digitalisasi bansos di Banyuwangi. Program ini melibatkan penggunaan identitas digital dan sistem biometrik, serta integrasi data melalui infrastruktur digital publik yang disebut “Portal Perlinsos”. Sistem ini memungkinkan sinergi antarinstansi dalam menyalurkan PKH, BPNT, dan bantuan lainnya, sekaligus meminimalkan duplikasi dan kebocoran anggaran. Proyek percontohan ini diharapkan menjadi model nasional yang akan direplikasi secara luas ke seluruh daerah dalam beberapa bulan ke depan.
Digitalisasi juga membuka peluang untuk pengawasan yang lebih transparan serta evaluasi berbasis data real time. Ini penting karena selama bertahun-tahun, kelemahan dalam sistem manual penyaluran bansos menyebabkan ketidaktepatan sasaran dan potensi penyalahgunaan anggaran. Lewat pendekatan digital, setiap bantuan tercatat, terverifikasi, dan terpantau secara sistematis, sehingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap program bansos pemerintah.
Selain sebagai alat pengaman sosial, bansos juga menjadi pendorong ekonomi lokal, terutama di pedesaan. Presiden Prabowo Subianto bersama jajaran kepala daerah meluncurkan inisiatif Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) pada pertengahan Juli 2025. Inisiatif ini ditujukan untuk memperkuat ekonomi rakyat dari bawah melalui koperasi berbasis desa yang terintegrasi dengan program perlinsos dan bantuan usaha mikro.
Pemerintah mencatat seluruh desa di Jawa Timur dan Maluku Utara telah memiliki koperasi aktif yang berbadan hukum. Keberadaan koperasi ini tidak hanya menyerap dana bansos sebagai modal bergulir, tetapi juga memfasilitasi pelatihan usaha, pengembangan produk lokal, dan akses pasar. Presiden menyebut koperasi desa sebagai “urat nadi ekonomi rakyat” yang harus diperkuat secara berkelanjutan agar pertumbuhan ekonomi benar-benar merata hingga ke pelosok.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga menambahkan bahwa pendekatan dari desa ke kota ini menjadi fondasi dalam membangun ekonomi nasional yang inklusif. Bantuan sosial bukan hanya ditujukan untuk mengangkat daya beli sesaat, tetapi untuk menciptakan transformasi ekonomi mikro menuju produktivitas yang lebih tinggi. Pemerintah berharap program ini akan mendorong peningkatan pendapatan masyarakat desa secara berkelanjutan dan memperkuat struktur ekonomi nasional dari bawah.
Meski begitu, berbagai tantangan masih mengemuka. Selain keterbatasan anggaran dan isu ketepatan sasaran, kebijakan bansos juga dihadapkan pada tantangan dalam memastikan bahwa bantuan tidak menciptakan ketergantungan jangka panjang. Untuk itu, dibutuhkan sinergi lintas sektor dan konsistensi kebijakan agar program bansos benar-benar menjadi jembatan menuju kemandirian ekonomi. Evaluasi berkala, penguatan kapasitas kelembagaan desa, serta pelibatan aktif masyarakat sipil dalam proses pengawasan dan pelaksanaan menjadi langkah yang sangat penting.
Berdasarkan perkembangan terbaru di bulan Juli 2025, bansos telah memainkan peran penting sebagai pengungkit daya beli masyarakat, pelindung ekonomi rumah tangga rentan, serta pendorong ekonomi desa. Jika dikelola dengan tata kelola yang baik, transparan, dan adaptif terhadap perubahan, bansos bukan hanya memberi bantuan sesaat, tetapi menjadi fondasi dari ekonomi yang lebih tangguh, berkeadilan, dan menyeluruh.
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan