Oleh : Gavin Asadit
Transformasi digital di sektor pemerintahan menjadi penggerak utama dalam memperkuat pelaksanaan Manajemen Berbasis Good Governance (MBG) secara efektif dan transparan. Seiring percepatan reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah, digitalisasi terbukti memangkas rantai birokrasi, menekan biaya, dan meningkatkan akuntabilitas. Pemerintah pusat hingga daerah kini mulai serius menerapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik atau SPBE secara menyeluruh guna mewujudkan layanan publik yang efisien dan terbuka.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menyatakan bahwa digitalisasi pelayanan publik menjadi prioritas strategis dalam menciptakan tata kelola yang bersih dan berorientasi pada hasil. Kolaborasi dengan lembaga internasional seperti Tony Blair Institute for Global Change (TBI) terus diperkuat sepanjang 2025 guna mempercepat integrasi data sosial-ekonomi melalui platform seperti DTSEN (Digitalisasi Terpadu Sosial Ekonomi Nasional), serta memperluas penerapan perizinan digital lintas kementerian. Komitmen ini ditegaskan kembali dalam pertemuan evaluasi transformasi birokrasi yang digelar Maret lalu di Jakarta.
Presiden Prabowo Subianto sendiri menegaskan pada awal tahun bahwa digitalisasi bukan hanya mendukung efisiensi, tetapi menjadi instrumen utama dalam mengurangi kebocoran anggaran. Dalam Instruksi Presiden mengenai efisiensi belanja operasional yang diterbitkan Februari 2025, Presiden menargetkan penghematan hingga Rp306,7 triliun, yang sebagian besar dicapai melalui pemangkasan kegiatan konvensional dan peralihan ke sistem digital. Penggunaan aplikasi e-budgeting, e-procurement, hingga e-audit menjadi sarana utama dalam mewujudkan penghematan anggaran negara, sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap transparansi pengelolaan dana pemerintah.
Pemerintah daerah juga menunjukkan keseriusan dalam mengadopsi pendekatan digital dalam pelaksanaan MBG. Di Kabupaten Serang, digitalisasi layanan publik telah diperluas ke tingkat desa melalui peluncuran portal pelayanan daring, yang memungkinkan masyarakat mengakses dokumen administrasi secara mandiri dan cepat. Bupati Serang Ratu Rachmatuzakiyah menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi menuju tata kelola yang modern, terbuka, dan partisipatif. Hal serupa terjadi di wilayah Kalimantan Barat, tepatnya di Desa Pebihingan, Kabupaten Ketapang, yang pada Juli 2025 menggelar pelatihan digitalisasi desa guna meningkatkan kapasitas aparatur dalam mengelola sistem layanan digital. Inisiatif ini didukung penuh oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai bagian dari program literasi digital nasional.
Namun di balik optimisme itu, tantangan masih dihadapi dalam pelaksanaan MBG berbasis digital, terutama dalam hal kesiapan sumber daya manusia. Studi terbaru yang dirilis Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan sejumlah lembaga riset menunjukkan bahwa rendahnya literasi digital aparatur sipil negara (ASN), khususnya di wilayah terpencil, menjadi hambatan serius. Di sisi lain, perbedaan kualitas infrastruktur digital antarwilayah memperbesar kesenjangan pelayanan, yang berdampak langsung terhadap ketimpangan implementasi MBG. Penguatan kapasitas ASN dan perluasan infrastruktur digital menjadi dua fokus utama pemerintah untuk memastikan bahwa transformasi ini berjalan merata.
Dalam konteks keamanan digital, Kementerian Pertahanan mengungkapkan bahwa salah satu tantangan besar dalam digitalisasi birokrasi adalah rendahnya kesadaran terhadap keamanan siber di kalangan aparatur. Studi internal yang dipublikasikan pada 14 Juli 2025 menyoroti bahwa selain kendala budaya organisasi, kelemahan dalam pengelolaan keamanan informasi menjadi celah yang bisa dimanfaatkan untuk serangan siber. Oleh karena itu, audit berkala, pelatihan keamanan informasi, serta penguatan sistem perlindungan data menjadi bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan MBG secara digital.
Sementara itu, dari sisi kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah regulasi pendukung seperti Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE yang menjadi payung hukum bagi digitalisasi layanan publik. Upaya harmonisasi sistem juga sedang dikejar melalui pengembangan platform terpadu yang memungkinkan pertukaran data antarinstansi secara aman dan efisien. Pemerintah menargetkan pada akhir 2025, seluruh kementerian dan lembaga menggunakan sistem digital terintegrasi, termasuk untuk keperluan perencanaan anggaran, perizinan, dan pelaporan kinerja.
Praktik keterbukaan informasi yang diperkuat oleh digitalisasi juga mulai berdampak langsung terhadap peningkatan partisipasi publik. Sejumlah daerah telah membuka dashboard digital yang menampilkan secara real-time penggunaan anggaran dan progres proyek pembangunan. Masyarakat kini dapat memantau penggunaan dana desa, kegiatan pengadaan, hingga pelaporan hasil musyawarah secara daring, sebuah lompatan besar dalam menciptakan MBG yang akuntabel.
Dalam rangka memastikan keberlanjutan digitalisasi MBG, pemerintah didorong untuk mempercepat integrasi data nasional, memperluas pelatihan ASN di daerah, serta memastikan setiap sistem digital dilengkapi dengan standar keamanan yang tinggi. Tak hanya itu, evaluasi berkala terhadap efektivitas platform digital juga menjadi agenda penting guna menghindari stagnasi sistem. Dengan sistem monitoring dan audit digital yang kuat, penyimpangan anggaran atau kebijakan dapat lebih cepat diidentifikasi dan ditindaklanjuti.
Di tengah era disrupsi dan tekanan efisiensi, pelaksanaan MBG yang efektif dan transparan tidak lagi cukup mengandalkan pendekatan manual. Digitalisasi terbukti menjadi pilar penting dalam mengarahkan birokrasi menuju tata kelola yang modern, efisien, dan dipercaya masyarakat. Dengan terus mendorong sinergi antara kebijakan, teknologi, dan partisipasi publik, Indonesia dipandang mampu memperkuat fondasi good governance dan menciptakan pemerintahan yang benar-benar hadir bagi rakyatnya.
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan