Opini  

Pemungutan Suara Ulang Solusi Tuntaskan Sengketa Hasil Pemilu

Oplus_131072

Oleh: Ninda Widiasti 

Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diselenggarakan di sejumlah daerah Indonesia, seperti Papua, Mahakam Ulu, Kota Palopo, dan Kabupaten Pesawaran, menjadi bukti nyata bahwa demokrasi di Indonesia terus mengalami pematangan. Pelaksanaan PSU berlangsung aman dan damai, mencerminkan kedewasaan masyarakat dalam menyikapi perbedaan pilihan politik serta menyelesaikan sengketa secara konstitusional.

PSU bukan sekadar proses administratif, melainkan bentuk koreksi sistem demokrasi terhadap kekeliruan prosedural. Dalam konteks ini, langkah penyelenggara pemilu menjadi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap hasil akhir pemilihan. Penyelenggaraan PSU menunjukkan bahwa ketika terjadi pelanggaran atau kesalahan dalam pelaksanaan awal, negara hadir memberikan solusi konstitusional yang adil dan terbuka.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin, menyampaikan bahwa pelaksanaan PSU di berbagai daerah berjalan tertib dengan tingkat partisipasi yang signifikan. Ia mencatat bahwa di Mahakam Ulu, partisipasi pemilih mencapai lebih dari 74 persen, sementara di Pesawaran dan Palopo angka partisipasi juga tergolong tinggi. Ia menyampaikan apresiasi kepada seluruh penyelenggara dan masyarakat yang turut menjaga suasana tetap kondusif selama proses PSU berlangsung.

Afifuddin menegaskan bahwa PSU merupakan bentuk tanggung jawab moral dan hukum dari penyelenggara pemilu. Dalam situasi di mana ditemukan pelanggaran prosedur atau administrasi, penyelenggaraan ulang pemungutan suara menjadi satu-satunya cara untuk menjamin keadilan pemilu. Tindakan ini menjadi bukti bahwa sistem pemilu Indonesia memiliki mekanisme korektif yang kuat untuk menjaga integritas dan keabsahan hasil pemilihan.

Dari Papua, tokoh agama Pastor Catto Mauri mengajak masyarakat untuk menyambut PSU dengan sikap damai dan hati yang jernih. Ia mendorong agar warga datang ke tempat pemungutan suara untuk menunaikan hak pilih tanpa terpengaruh provokasi. Menurutnya, perbedaan pilihan politik adalah hal wajar, tetapi persatuan dan kerukunan di tengah masyarakat jauh lebih penting untuk dipertahankan.

Pastor Mauri juga menekankan pentingnya menjaga persaudaraan dalam masa pemilu. Dalam pandangannya, PSU bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat solidaritas warga, bukan memecah belah mereka. Pendekatan damai dari tokoh agama seperti ini membantu menciptakan suasana yang sejuk dan aman selama proses pemilihan ulang.

Sementara itu, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, melihat PSU sebagai bentuk kesadaran dan tanggung jawab penyelenggara pemilu. Ia menjelaskan bahwa pemungutan ulang, susulan, maupun lanjutan adalah respons atas ketidaksesuaian prosedural yang harus diperbaiki demi menjaga prinsip keadilan dalam Pilkada Serentak 2024.

Annisa menyoroti bahwa penyebab PSU bisa berasal dari faktor teknis, seperti kesalahan logistik dan administrasi, maupun faktor nonteknis seperti politik uang atau manipulasi oleh aktor tertentu. Ia menilai bahwa dengan memperkuat kapasitas penyelenggara pemilu ad hoc, serta meningkatkan pengawasan dan pelatihan, maka potensi terjadinya PSU di masa mendatang dapat diminimalisasi.

Ia juga menggarisbawahi bahwa meskipun PSU membutuhkan tambahan anggaran, pengeluaran ini justru merupakan investasi jangka panjang dalam membangun sistem pemilu yang bersih dan kredibel. Annisa menyatakan bahwa tidak ada biaya yang terlalu besar ketika tujuannya adalah memastikan setiap suara rakyat dihitung dengan benar.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pendidikan politik kepada masyarakat secara berkelanjutan. Menurutnya, pemilih perlu menyadari bahwa suara mereka adalah wujud dari kedaulatan yang tidak boleh diperjualbelikan. Melalui pendidikan yang tepat, masyarakat akan lebih waspada terhadap politik uang dan tidak mudah tergiur oleh janji instan dari kandidat yang tidak bertanggung jawab.

PSU yang berlangsung aman juga memperlihatkan koordinasi yang baik antara KPU, Bawaslu, pemerintah daerah, serta aparat keamanan. Dalam situasi politik yang sensitif, sinergi antarinstansi menjadi faktor utama untuk menjamin pelaksanaan pemilu tetap berada dalam koridor hukum dan tidak menimbulkan ketegangan di masyarakat.

Lebih dari itu, PSU bukan hanya memberikan peluang bagi pemilih untuk menyuarakan kembali pilihannya, tetapi juga memberikan ruang pembelajaran bagi seluruh pemangku kepentingan pemilu. Melalui proses ini, seluruh pihak dapat merefleksikan kekurangan dan memperbaiki sistem ke depannya.

Tantangan yang muncul dalam PSU, baik dari sisi teknis maupun sosial, hendaknya dijadikan momentum untuk memperkuat sistem pemilu secara menyeluruh. Ketika seluruh pihak, mulai dari penyelenggara hingga pemilih, menjalankan perannya dengan tanggung jawab, maka demokrasi Indonesia akan semakin matang.

Dengan pelaksanaan PSU yang transparan dan akuntabel, pemerintah memperlihatkan komitmennya dalam menyelesaikan sengketa pemilu secara adil. Ini adalah contoh nyata bagaimana negara memberikan jaminan bahwa setiap suara rakyat tetap memiliki nilai dan tidak dikompromikan oleh kesalahan teknis maupun pelanggaran hukum.

Pada akhirnya, pemungutan suara ulang tidak hanya menjadi solusi bagi sengketa pemilu, tetapi juga menjadi simbol kedewasaan demokrasi dan komitmen bersama untuk menjaga keutuhan bangsa. Dalam proses ini, pemerintah bersama masyarakat menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia terus bertumbuh ke arah yang lebih baik dan lebih adil.

Pengamat Politik Daerah – Lembaga Politik Nusantara (LPN)