Oleh : Joko Supriyono
Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional (HKN) merupakan langkah monumental pemerintah dalam menegaskan posisi strategis kebudayaan sebagai inti dari jati diri bangsa. Momentum ini bukan sekadar perayaan simbolis, melainkan perwujudan konkret atas pengakuan negara terhadap kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia. Penetapan ini juga menandai transformasi cara pandang negara terhadap kebudayaan, dari yang sebelumnya hanya diposisikan sebagai pelengkap pembangunan menjadi unsur utama dalam membentuk identitas dan arah masa depan bangsa.
Pemilihan tanggal 17 Oktober bukan keputusan yang sembarangan atau berdasar asumsi kebetulan. Pemerintah, melalui proses kajian mendalam, mempertimbangkan berbagai aspek historis dan filosofis yang mendasari pentingnya tanggal tersebut. Penetapan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang ditandatangani Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman pada 17 Oktober 1951. Aturan tersebut menetapkan lambang negara Garuda Pancasila lengkap dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini menjadi pondasi kuat bagi nilai-nilai persatuan dan keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah menegaskan bahwa keputusan ini tidak didasarkan pada cocokologi atau kecocokan yang kebetulan. Kepala Kantor Staf Kepresidenan RI, Hasan Nasbi, menekankan bahwa pemilihan tanggal tersebut mencerminkan keinginan pemerintah untuk memberikan ruang dan pengakuan yang sah terhadap keragaman budaya Indonesia. Hasan menyebut penetapan Hari Kebudayaan Nasional ini sebagai puncak dari pengakuan resmi pemerintah terhadap pluralitas budaya yang hidup dan berkembang di Tanah Air. Penggunaan lambang Garuda serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks penetapan ini pun menjadi simbol bahwa keberagaman tidak hanya diterima, tetapi juga dirayakan sebagai kekuatan pemersatu bangsa.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menyatakan bahwa Hari Kebudayaan Nasional dirancang untuk memperkuat kesadaran kolektif masyarakat terhadap pentingnya pelestarian, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam pandangannya, 17 Oktober memiliki makna historis yang sangat kuat karena merupakan tonggak pengesahan identitas simbolik negara melalui lambang Garuda Pancasila dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Oleh karena itu, penetapan HKN menjadi sarana penting untuk menghidupkan kembali semangat nasionalisme berbasis budaya, serta menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi penerus bangsa.
Tiga tujuan utama dari penetapan Hari Kebudayaan Nasional adalah penguatan identitas nasional, pelestarian budaya, serta peningkatan pendidikan dan kebanggaan terhadap budaya Indonesia. Simbol negara yang dideklarasikan pada 17 Oktober 1951 bukan sekadar ornamen, melainkan representasi filosofi hidup bangsa. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu,” adalah refleksi konkret dari realitas sosial bangsa Indonesia yang multietnik, multikultural, dan multireligius. Dalam semangat inilah, Hari Kebudayaan menjadi medium untuk mempererat kohesi sosial serta memperkuat rasa saling menghargai di tengah perbedaan.
Penetapan ini juga merupakan hasil aspirasi masyarakat, khususnya dari kalangan seniman dan budayawan di Yogyakarta. Sejak awal tahun 2025, para maestro tradisi dan kontemporer di kota tersebut telah menggagas perlunya momentum nasional untuk merayakan budaya sebagai jantung dari peradaban Indonesia. Melalui kajian yang mendalam dan diskusi intensif dengan Kementerian Kebudayaan, usulan mereka akhirnya diterima dan diakomodasi menjadi kebijakan nasional. Ini menunjukkan bahwa proses perumusan Hari Kebudayaan Nasional bersifat partisipatif dan tidak top-down, mencerminkan kehendak bersama untuk menempatkan budaya sebagai kekuatan strategis bangsa.
Dengan ditetapkannya Hari Kebudayaan Nasional, pemerintah mengajak seluruh komponen bangsa untuk memaknai budaya sebagai kekayaan yang harus dijaga bersama. Kebudayaan bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan warisan hidup yang terus berkembang dan beradaptasi dengan dinamika zaman. Budaya juga menjadi sumber inspirasi untuk menjawab tantangan global melalui pendekatan lokal yang sarat nilai. Oleh karena itu, Hari Kebudayaan Nasional bukan hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah, tetapi juga sebagai pengingat untuk terus merawat akar budaya bangsa demi masa depan yang lebih beradab dan sejahtera.
Dalam konteks globalisasi yang serba cepat dan seragam, kebudayaan lokal menjadi benteng terakhir pertahanan identitas bangsa. Penetapan Hari Kebudayaan adalah bukti komitmen negara dalam memastikan bahwa keberagaman tidak dipandang sebagai penghambat, melainkan sebagai kekuatan transformatif yang mempersatukan. Melalui peringatan ini, diharapkan masyarakat semakin mencintai dan melestarikan budaya daerah masing-masing, serta mengembangkan pemahaman lintas budaya yang inklusif dan progresif.
Penetapan ini harus diikuti oleh kebijakan turunan yang konkret, seperti peningkatan anggaran kebudayaan, revitalisasi pusat kebudayaan di daerah, dan integrasi nilai-nilai budaya dalam sistem pendidikan nasional. Pemerintah juga perlu mendorong kerja sama antara pelaku budaya, akademisi, dan masyarakat sipil untuk memperluas dampak positif dari Hari Kebudayaan Nasional.
Hari Kebudayaan Nasional adalah cermin dari kemauan politik negara dalam memperkuat integrasi sosial melalui jalan budaya. Ini adalah bukti bahwa negara hadir dan berpihak pada keberagaman yang telah menjadi denyut nadi kehidupan bangsa sejak zaman nenek moyang. Ke depan, peringatan ini harus menjadi panggung kolektif untuk merawat, menghidupkan, dan menumbuhkan kebudayaan Indonesia sebagai fondasi kebangsaan yang tak tergantikan.
Penulis adalah Pengamat Kebudayaan