Opini  

Pungutan Pajak Digital Strategi Pemerintah Perkuat Keuangan Negara

Oplus_0

Oleh : Fahri Sinaga 

Transformasi digital yang melanda hampir seluruh sektor kehidupan telah mengubah wajah perekonomian global, termasuk Indonesia. Aktivitas perdagangan tidak lagi terbatas pada toko fisik, melainkan juga terjadi secara masif melalui platform daring. Menyikapi perkembangan tersebut, pemerintah Indonesia secara progresif menetapkan kebijakan baru dengan menunjuk e-commerce atau lokapasar sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pedagang daring. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut PPh, yang mulai berlaku pada 14 Juli 2025. Langkah ini menandai awal dari era baru perpajakan digital di Tanah Air, sekaligus memperkuat struktur keuangan negara.

Dalam beleid tersebut, Menteri Keuangan melimpahkan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) untuk menunjuk pihak lain sebagai pemungut pajak. Selain itu, Ditjen Pajak juga diberi wewenang menetapkan batasan nilai transaksi atau jumlah pengakses tertentu yang dikenakan kewajiban pajak. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun fondasi perpajakan yang lebih inklusif dan adaptif terhadap dinamika ekonomi digital. Penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh adalah upaya untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas transaksi daring yang kini mulai tergarap secara lebih sistematis dan progresif.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menyebut kebijakan ini sebagai salah satu dari enam strategi utama Kementerian Keuangan dalam mengoptimalkan pendapatan negara. Pihaknya menegaskan bahwa mulai 2026, pemerintah akan lebih intensif menerapkan sistem pajak berbasis aktivitas teknologi dan media sosial. Langkah ini sejalan dengan modernisasi sistem perpajakan nasional, yang kini mulai menyasar ruang-ruang ekonomi virtual. Dengan memanfaatkan data analitik dan big data, pemerintah berupaya menggali potensi pajak dari berbagai aktor digital, termasuk kreator konten, influencer media sosial, hingga pelaku UMKM teknologi.

Salah satu aspek paling progresif dari PMK 37/2025 adalah penunjukan platform marketplace sebagai pemungut pajak atas setiap transaksi elektronik. Ini adalah langkah cerdas yang tidak hanya meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, tetapi juga menyesuaikan sistem perpajakan nasional dengan perilaku konsumsi masyarakat yang semakin digital. Dalam praktiknya, platform seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, Lazada, dan Bukalapak akan secara otomatis memungut PPh sebesar 0,5 persen dari omzet pedagang daring yang masuk kategori wajib pajak sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak bersifat menyamaratakan. Pemerintah menetapkan batas omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun sebagai kriteria merchant yang dikenakan pajak. Dengan demikian, pelaku UMKM kecil dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap tidak terkena kewajiban ini. Hal ini menunjukkan kepekaan pemerintah terhadap kondisi pelaku usaha mikro, serta upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan proporsional.

Pemerintah juga menargetkan terciptanya kesetaraan antara pedagang online dan offline. Selama ini, pelaku usaha offline harus memenuhi kewajiban perpajakan secara ketat, sementara sebagian besar pelaku usaha online beroperasi di zona abu-abu yang minim pengawasan. Kebijakan ini hadir untuk menciptakan level playing field yang setara, sehingga persaingan usaha dapat berlangsung adil dan sehat. Di sisi lain, pemerintah juga menargetkan pengurangan ekonomi bayangan (shadow economy) di sektor perdagangan digital, yang selama ini menyebabkan kebocoran potensi penerimaan negara.

Tak hanya pemerintah, dukungan juga datang dari pelaku industri digital. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap PMK 37/2025, seraya meminta adanya masa transisi yang memadai. idEA menilai bahwa kebijakan ini akan menimbulkan tantangan administratif, terutama bagi pelaku UMKM yang belum terbiasa dengan sistem perpajakan digital namun ini juga menjadi peluang edukasi dan transformasi digital yang lebih luas. Oleh karena itu, diperlukan masa sosialisasi dan penyesuaian setidaknya satu tahun agar semua pihak dapat memahami dan mengimplementasikan aturan ini dengan baik.

Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan juga menekankan pentingnya edukasi dan pendampingan, agar para pelaku usaha dapat beradaptasi secara lancar dan mendapatkan manfaat dari sistem perpajakan baru ini. Pemerintah pun diharapkan menyediakan infrastruktur dan layanan pendukung yang memadai, termasuk sistem pelaporan pajak yang mudah diakses, aman, dan efisien. Sinergi antara regulator dan pelaku industri akan menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan ini di lapangan.

Di tengah upaya pemerintah memperluas basis perpajakan digital, kepercayaan publik terhadap sistem pajak juga harus terus dijaga. Transparansi yang telah dibangun pemerintah menjadi faktor kunci untuk semakin meningkatkan kepatuhan publik. Oleh karena itu, pemerintah perlu terus membangun sistem yang akuntabel dan mengedepankan prinsip keadilan fiskal. Reformasi perpajakan berbasis digital ini hanya akan berhasil jika disertai oleh ekosistem kepercayaan yang kuat antara negara dan warganya.

Sudah menjadi kenyataan bahwa arah kebijakan ini selaras dengan tren global. Banyak negara maju dan berkembang kini mulai mengatur pemungutan pajak dari aktivitas ekonomi digital. Indonesia tidak boleh tertinggal dalam upaya ini. Terlebih, sektor digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat dan diperkirakan akan menjadi salah satu pilar utama ekonomi nasional di masa mendatang. Oleh karena itu, kebijakan PMK 37/2025 bukan sekadar regulasi fiskal, tetapi juga pernyataan strategis bahwa Indonesia siap menghadapi masa depan ekonomi digital dengan langkah yang tegas dan terukur.

Penulis merupakan Pengamat Ekonomi Kerakyatan.