Opini  

Starlink, Ditolak Saat Tenang, Dicari Saat Bencana

Oleh: Bramadya Andriza

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina

Ketika bencana terjadi, perdebatan panjang tentang regulasi dan persaingan bisnis mendadak kehilangan arti. Yang tersisa hanyalah satu pertanyaan sederhana; ‘Apakah kita masih bisa saling terhubung, atau tidak?’

Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatra Utara kembali memperlihatkan kebutuhan paling mendasar dalam situasi krisis, yaitu komunikasi. Bagi para korban, komunikasi berarti kemampuan untuk memberi kabar kepada keluarga, mencari kepastian tentang orang terdekat, dan memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar mereka.

Ketika bencana terjadi, gangguan infrastruktur sangat berperan dalam memperparah situasi. Ratusan BTS (Base Transceiver Station) atau Menara Pemancar Seluler dilaporkan tidak berfungsi akibat listrik padam dan jaringan terputus. Dalam kondisi seperti ini, warga tidak dapat menghubungi keluarga yang berada di kota atau pulau lain. Pesan singkat tentang keselamatan tidak terkirim, kabar datang sepotong-sepotong, dan ketidakpastian menjadi beban tambahan di tengah situasi yang sudah sulit. 

Di tengah kondisi darurat, layanan internet satelit Starlink digunakan di berbagai posko bencana untuk memulihkan koneksi. Tanpa bergantung pada BTS atau jaringan fiber yang rusak, komunikasi dapat kembali berjalan di lapangan. Pemerintah dan aparat menyalurkan puluhan hingga ratusan perangkat Starlink ke wilayah terdampak agar komunikasi di posko dan daerah terisolasi bisa segera pulih. Apalagi dalam masa tanggap darurat, Starlink bahkan memberi layanan secara gratis.

Menariknya, kehadiran Starlink saat bencana nyaris tanpa perdebatan. Tidak banyak yang mempertanyakan asal teknologi, status komersial, atau dampaknya terhadap pasar lokal. Dalam situasi darurat, pertanyaannya menjadi sangat sederhana; Apakah koneksi ini bisa digunakan untuk menghubungi keluarga dan berkoordinasi, atau tidak.

Padahal, sebelum bencana, kehadiran Starlink di Indonesia tidak pernah benar-benar lepas dari kehati-hatian. Isu keamanan data, kedaulatan digital, hingga potensi persaingan dengan operator telekomunikasi lokal kerap menjadi sorotan. Ironisnya, secara hukum Starlink telah mengantongi izin operasional dan komersial sejak 2024. Artinya, teknologi ini sudah legal, tetapi penerimaannya tetap berjalan dengan penuh kewaspadaan.

Bencana mengubah seluruh konteks tersebut. Ketika jaringan konvensional tidak berfungsi, perdebatan panjang tentang regulasi dan pasar mendadak kehilangan urgensi. Yang tersisa hanyalah kebutuhan berkomunikasi agar dapat terhubung secepat mungkin.

Pada saat yang sama, operator telekomunikasi dalam negeri juga ikut memberikan dukungan. Melalui kebijakan penyesuaian dan pembebasan tagihan, pelanggan terdampak bencana diminta mengabaikan notifikasi pembayaran yang sempat terkirim karena proses penyesuaian dilakukan belakangan. Langkah ini menunjukkan bahwa aktor lokal pun berupaya hadir membantu.

Dalam perspektif yang lebih luas, kehadiran Starlink tidak harus selalu dibaca sebagai ancaman bagi industri telekomunikasi nasional. Teknologi baru dapat menjadi pemicu bagi operator lokal untuk memperkuat jaringan, meningkatkan kualitas layanan, dan mempercepat pemerataan akses, terutama di wilayah yang selama ini sulit dijangkau. Kompetisi, jika dikelola dengan kebijakan yang tepat, dapat menjadi dorongan untuk berbenah, bukan sumber kecemasan.

Bencana kembali menegaskan bahwa persoalan komunikasi darurat dan pemerataan akses bukanlah isu baru. Wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) telah lama menghadapi keterbatasan konektivitas. Bencana hanya membuat persoalan lama itu terlihat lebih jelas dan lebih mendesak.

Pelajaran yang bisa ditarik sesungguhnya sederhana. Komunikasi perlu dipersiapkan sebelum krisis, bukan baru diandalkan ketika krisis sudah terjadi. Resistensi terhadap inovasi sering kali runtuh bukan oleh perdebatan panjang, melainkan oleh kenyataan di lapangan.Itp.BAA