Opini  

UU TNI Cerminkan Komitmen Pemerintah terhadap Reformasi dan Supremasi Sipil

Oplus_131072

Oleh : Rivka Mayangsari

Pemerintah Indonesia kembali menegaskan komitmennya terhadap reformasi sektor pertahanan dan penegakan prinsip supremasi sipil melalui revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru. UU ini dirancang tidak hanya untuk memperkuat sistem pertahanan negara, tetapi juga menjaga agar prinsip-prinsip demokrasi tetap menjadi fondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketua Komisi I DPR RI yang membidangi pertahanan, Utut Adianto, menyampaikan bahwa proses legislasi UU TNI telah berjalan secara sah, tertib, dan transparan. Ia menjelaskan bahwa seluruh tahapan telah memenuhi prosedur hukum yang berlaku, sesuai dengan asas pembentukan perundang-undangan di Indonesia.

Utut menerangkan bahwa DPR RI melalui Komisi I telah menjunjung tinggi asas kedayagunaan dan hasil guna dalam penyusunan UU tersebut, sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya. Ia juga menegaskan bahwa dalam proses penyusunan undang-undang ini tidak terdapat pelanggaran terhadap satu pun asas hukum yang berlaku.

Ia menjabarkan bahwa partisipasi publik telah diakomodasi secara maksimal, termasuk melalui penyelenggaraan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang melibatkan pakar, akademisi, dan unsur masyarakat. Ia menyebut bahwa partisipasi tersebut bersifat bermakna karena tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar substansial, di mana semua suara didengar dan dipertimbangkan secara serius.

Sikap senada juga disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas. Ia menyatakan bahwa proses penyusunan UU TNI telah mengacu sepenuhnya pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Supratman menjelaskan bahwa bahkan sebelum RUU TNI Perubahan diajukan oleh DPR, pemerintah telah terlebih dahulu melakukan penyerapan aspirasi publik melalui berbagai forum diskusi yang digelar sejak tahun 2023. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) dan uji publik yang diselenggarakan oleh Markas Besar TNI.

Ia menambahkan bahwa dalam proses penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), pemerintah menyelenggarakan kegiatan dengar pendapat publik yang dihadiri oleh kementerian dan lembaga terkait, akademisi, serta kelompok masyarakat sipil. Dengan mekanisme ini, aspirasi yang muncul dari berbagai elemen masyarakat dijaring dan dianalisis secara mendalam.

Supratman menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis, keberadaan TNI yang profesional harus tetap berada di bawah kontrol otoritas sipil. Menurutnya, TNI aktif wajib tunduk pada ketentuan, aturan, dan administrasi kementerian atau lembaga sipil sebagai bagian dari upaya menjaga prinsip supremasi sipil.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa UU TNI terbaru dirancang tidak hanya untuk merespons dinamika ancaman pertahanan yang semakin kompleks, tetapi juga untuk mengoptimalkan profesionalisme TNI sebagai alat negara. Ia menambahkan bahwa regulasi ini sekaligus memastikan bahwa pemerintah sipil tetap memegang kendali penuh atas kebijakan strategis pertahanan tanpa intervensi kekuasaan militer.

Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto juga memberikan pandangannya mengenai revisi UU TNI. Ia menyampaikan bahwa proses penyusunan revisi undang-undang ini tetap berpegang pada prinsip supremasi sipil dan prinsip demokrasi.

Ia menerangkan bahwa dasar hukum penyusunan UU ini sudah sesuai, serta memberi batasan yang jelas mengenai kewenangan prajurit aktif dalam menduduki jabatan sipil. Menurutnya, dengan adanya kejelasan tersebut, maka tidak perlu muncul kekhawatiran yang berlebihan dari masyarakat.

Panglima TNI juga menekankan bahwa dalam konteks global saat ini, militer modern dituntut untuk tidak hanya tangguh dalam bidang pertahanan, tetapi juga adaptif terhadap perubahan tata kelola pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu, UU TNI ini dirancang untuk memperjelas hubungan antara militer dan sipil agar sinergi dapat tercapai tanpa tumpang tindih kewenangan.

Ia menyatakan bahwa implementasi UU TNI yang baru diharapkan akan memperkuat profesionalisme TNI, baik dalam aspek operasional militer maupun dalam hal akuntabilitas, transparansi, serta penghormatan terhadap sistem hukum nasional yang demokratis.

Dengan pendekatan yang demikian, posisi TNI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi semakin jelas, yaitu sebagai alat negara yang menjaga kedaulatan namun tetap tunduk pada konstitusi dan otoritas sipil.

Secara keseluruhan, pembentukan UU TNI ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam melakukan reformasi pertahanan yang inklusif dan demokratis. Pemerintah bersama DPR RI telah menunjukkan bahwa penguatan pertahanan nasional dapat berjalan beriringan dengan penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

Dengan disahkannya regulasi ini, Indonesia tidak hanya memperkuat sistem pertahanannya, tetapi juga menegaskan bahwa kekuasaan sipil tetap menjadi pengendali utama dalam sistem ketatanegaraan yang modern dan beradab.

Sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan prinsip demokrasi, pemerintah juga merencanakan evaluasi berkala terhadap implementasi UU TNI ini. Evaluasi tersebut akan dilakukan dengan melibatkan lembaga independen, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil guna memastikan bahwa pelaksanaannya tidak menyimpang dari semangat reformasi dan supremasi sipil. Langkah ini menjadi penting untuk menjamin bahwa penguatan TNI tidak menimbulkan dominasi militer dalam ranah sipil. Dengan demikian, UU TNI tidak hanya menjadi produk hukum, tetapi juga menjadi alat transformasi institusional yang progresif dan berpihak pada kepentingan rakyat.

 Pemerhati isu politik