Oleh : Aziza Azka, Sarah Adelina, Dinara Savina, Tsabita Hanifah (Universitas Andalas)
Globalisasi memiliki peran penting dalam kehidupan, berkembangnya teknologi dan informasi merupakan salah satu dampak positifnya. Perkembangan teknologi dan informasi menjadikan media sosial sebagai salah satu hal yang tidak dapat ditinggalkan, sebab semua informasi dapat diakses melalui media sosial. Namun, tak selamanya perkembangan teknologi membawa dampak positif, hal ini dibuktikan dengan banyaknya penemuan ujaran kebencian di media sosial atau yang biasa dikenal dengan cyberbullying.
Cyberbullying adalah perilaku yang dilakukan secara sengaja untuk menyakiti hati orang lain secara online. Perilaku ini sering kali dilakukan melalui kolom komentar ataupun postingan pada laman media sosial. Hal ini tentu memiliki dampak negatif berupa gangguan terhadap kondisi psikologis seseorang, ataupun penyebab terjadinya suatu perpecahan antar kelompok. Lalu bagaimanakah isu “cyber bullying” bagi mahasiswa ?
Pada akhir bulan Mei 2024, sekelompok mahasiswi Universitas Andalas melakukan studi kasus mengenai ujaran kebencian di media sosial. Studi kasus ini dilakukan dengan cara menyebarluaskan kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan ujaran kebencian di media sosial, baik pertanyaan tentang platform mana yang lebih sering digunakan, berapa lama waktu yang dihabiskan untuk bermedia sosial, hingga tanggapan mahasiswa terhadap cyberbullying. Kuesioner ini ditujukan untuk seluruh mahasiswa/i Universitas Andalas.
Melalui kuesioner tersebut didapatkan bahwasannya sebanyak 27,3% mahasiswa yang mengisi kuesioner tersebut pernah mendapatkan ujaran kebencian di media sosial. Ujaran kebencian tersebut paling banyak didapati dari platform media sosial Tiktok, adapun bentuk ujaran kebencian yang sering diterima oleh para korban yaitu berupa kata-kata kasar, selanjutnya diiringi dengan body shaming, dan terakhir berupa sindiran. Hal ini menunjukkan cukup tingginya angka dari korban cyberbullying di kalangan mahasiswa.
Ujaran kebencian yang paling sering didapatkan oleh mahasiswa yaitu berupa kata-kata kasar, hal ini ditunjukkan dari jumlah persentase sebesar 30,3%. Kata-kata kasar tersebut seringkali dilontarkan oleh para pelaku melalui kolom komentar platform media sosial korban. Biasanya kata-kata kasar yang sering didapatkan berupa nama-nama hewan yang ditujukan kepada korban, dan kata-kata kasar seperti bodoh, idiot, dan lain sebagainya. Tentu saja kata dan kalimat kasar yang dilontarkan oleh pelaku memiliki dampak negatif yang dapat dirasakan oleh para korban yaitu trauma yang berupa kecemasan.
Melihat kepada data yang didapat melalui kuesioner yang dibagikan, sekelompok mahasiswa yang melakukan penelitian ini mendapatkan bahwa sekitar 48,5% mahasiswa yang menjadi korban cyberbullying merasa terancam, atau merasa tidak aman. Angka ini terbilang cukup tinggi karena mendekati 50%, yang mana hal tersebut menunjukkan hampir setengah dari mahasiswa yang pernah mendapatkan cyberbullying pernah merasakan gangguan psikologis berupa kecemasan sehingga membuatnya merasa terancam dan tidak aman.
Cyberbullying menjadi tantangan yang signifikan bagi para mahasiswa di era digital masa kini. Berdasarkan hasil data yang telah kelompok peneliti kumpulkan, terdapat 60,6% mahasiswa cenderung mengabaikan kasus cyberbullying yang mereka saksikan. Sedangkan hanya 6,1% mahasiswa yang memilih untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang. Hal ini sangat disayangkan jika melihat rendahnya angka pelaporan kepada pihak yang berwenang. Karena hal ini mengindikasikan kurangnya kesadaran atau kepercayaan terhadap proses penegakan hukum terkait kasus cyberbullying.
Padahal hal ini sudah tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di dalam UU ini juga mencakup pasal-pasal yang relevan untuk menindaklanjuti pelaku cyberbullying. Misalnya Pasal 45A ayat (2) yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Berdasarkan data yang telah disajikan, dapat dilihat tingkat kesadaran mahasiswa tentang cyberbullying masih memerlukan peningkatan yang signifikan. Sebagai bagian dari generasi Z, mahasiswa seharusnya lebih melek dengan teknologi dan aturan-aturan yang ada, jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Sebagai kaum intelektual, mahasiswa seharusnya tidak hanya memiliki pengetahuan yang baik mengenai dampak negatif dari cyber bullying, tetapi juga memiliki kapasitas untuk menjadi teladan dalam penggunaan media sosial yang etis dan positif. Maka dari itu, sangat tidak pantas rasanya bagi mahasiswa yang seharusnya mampu mengedepankan nilai-nilai intelektualitas, moralitas, dan kepatuhan terhadap hukum malah melakukan tindakan cyberbullying. Dengan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan dalam bermedia sosial, mahasiswa dapat berperan aktif dalam menciptakan lingkungan digital yang aman dan mendukung perkembangan diri yang sehat bagi semua pengguna.