Oleh : Alif Fikri )
Paham radikal bisa menyerang siapa saja termasuk generasi muda, khususnya anak-anak napi kasus terorisme. Oleh sebab itu, semua pihak perlu mendukung program deradikalisasi dan terus mendukung program moderasi beragama.
Pengaruh paham radikal rupanya memiliki dampak besar bagi tumbuh kembang anak-anak napi teroris dalam bersosialisasi di lingkungan masyarakat. Tindakan pemerintah dirasa masih kurang intensif terhadap penanganan radikalisme untuk anak napi teroris.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin secara tegas mengatakan sudah ada gerakan RANPE (Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme) yang dinaungi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Rencana aksi tersebut juga mencakup masalah terkait dengan anak-anak napi teroris. Selain itu, Wakil Presiden juga memberi arahan untuk melakukan reintegrasi dan mengubah pola pikir masyarakat terhadap anak-anak napi teroris.
Ma’ruf juga menyampaikan, masyarakat harus percaya bahwa anak-anak napi teroris masih bisa diperbaiki dengan perlakuan dan cara-cara yang lebih spesifik, termasuk kerja sama BNPT dengan pemerintah daerah setempat.
BNPT bersama dengan pemerintah setempat harus ada semacam pusat rehabilitasi untuk anak-anak. Dan kemudian juga disamping melakukan rehabilitasi, juga melakukan upaya-upaya pengembalian mereka kepada masyarakat dalam rangka reintegrasi supaya masyarakat mau menerima dan bahkan mau mendidik.
Ma’ruf Amin juga merasa bahwa pemerintah juga perlu mewaspadai adanya risiko terhadap anak-anak yang bisa terpapar paham radikal melalui internet.
Oleh karena itu, Wapres menegaskan kepada pemerintah dan masyarakat untuk memperhatikan masalah yang timbul dari interaksi secara langsung maupun melalui media.
Banyak faktor yang membuat anak rentan terjangkit radikalisme. Namun yang utama adalah faktor keluarga dan institusi pendidikan. Ini menjadi bukti banyak anak-anak yang terpapar radikalisme melalui online dan institusi seperti kasus bom bunuh diri di Surabaya dan Sibolga, juga anak-anak yang terdapat dalam video propaganda ISIS yang tersebar di media sosial seperti Youtube.
Tidak dipungkiri Media Sosial menjadi salah satu alat penyebaran paham radikal yang sangat luar biasa. Anak-anak ketika mendapat informasi radikal biasanya akan merasa penasaran dan jarang merasa takut. Rasa penasaran inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menggiring mereka mengakses informasi yang sudah dirancang melalui medsos.
Jangan sampai anak-anak yang masih polos, menjadi objek utama dalam penyebaran radikalisme. Sehingga perlindungan anak sudah semestinya menjadi agenda dan prioritas pembangunan nasional, sehingga idealnya anak-anak terlindungi dari paparan paham radikal.
Salah satu cara dalam upaya mencegah atau membentengi anak-anak dari radikalisme yaitu dengan menstimulus sikap cinta tanah air sejak dini. Salah satunya melalui simulasi-stimulasi seperti nyanyian-nyanyian yang mengandung unsur nasionalisme.
Selain itu kisah-kisah heroik para pejuang juga perlu diceritakan kembali kepada anak-anak. Kisah-kisah kepahlawanan dalam upaya merebut kemerdekaan yang melibatkan beragam suku bangsa dan agama semestinya patut diceritakan agar anak-anak memahami bahwa Indonesia adalah Bangsa yang Bhineka dengan beragam suku dan agama.
Salah satu cara untuk mencegah radikalisme itu meluas adalah dengan memberikan sosialisasi kepada semua elemen masyarakat tentang betapa bahayanya radikalisme, tak terkecuali guru dan siswa.
Guru bisa menjadi salah satu pintu gerbang masuknya paham tersebut, tetapi sekaligus pintu masuk pula untuk mencegahnya. Melalui guru, para murid akan mendapatkan pencerahan apabila para guru dicerahkan terlebih dahulu.
Sebelumnya, Mahfud MD selaku Menko Polhukam menegaskan, salah satu ancaman dalam merawat kebersatuan hidup berbangsa dan bernegara adalah radikalisme. Karena itu setiap individu berhak untuk merawat NKRI.
Mahfud berujar “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan anugrah Allah yang kita miliki, dan harus dirawat. Salah satu yang mengancam dalam merawat NKRI ini adalah radikalisme, yakni satu gerakan yang ingin membongkar kesepakatan-kesepakatan dalam hidup bernegara sebagai Darul Mitsaq.
Doktrin pemikiran radikal tentu saja sangatlah berbahaya. Dampak doktrin radikalisme tersebut mampu merusak sendi-sendi kehidupan yang dianut oleh mayoritas masyarakat.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol R Akhmad Nurwakhid, menyebutkan ada sebanyak 12,2 persen masyarakat Indonesia yang berpotensi terpapar paham radikal. Dari jumlah tersebut mayoritas merupakan generasi milenial dan generasi Z.
Nurwakhid mengatakan indikator pertama adalah generasi milenial dan gen Z diduga sudah anti-pancasila, pro khilafah atau pro ideologi transnasional. Kedua, generasi tersebut menurut Nurwakhid sudah memiliki paradigma intoleran terhadap keragaman dan perbedaan.
Mereka sikapnya sudah eksklusif terhadap perubahan atau pun dengan lingkungannya, mereka memiliki klaim kebenaran yang paling agamis.
Paham radikal dan sikap intoleran adalah 2 hal yang perlu diantisipasi, jangan sampai anak-anak yang merupakan darah daging napi teroris tersebut, justru mewarisi sikap dan pemikiran dari orang tuanya.
Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute